Rabu, 16 Juni 2010

Marxisme

Oleh Devy Kurnia Alamsyah, SS

”Manusia adalah hasil dari keadaan dan didikan.
Keadaan itu mesti dirubah sendiri oleh manusia itu sendiri
dan bahkan seorang pendidik pun harus dididik”
- Karl Marx -


Pendahuluan

Realitas kehidupan (ekonomi, politik) dengan segala fenomena sosial yang mengitarinya tentunya telah mengilhami berbagai penulis di dunia untuk sedikit banyaknya memasukkan permasalahan tersebut ke dalam karya mereka. Beragam karya sastra kontemporer, yang sepertinya kini seakan-akan terkotak-kotak, kemudian bermunculan tak terhindarkan. Ada yang dikategorikan sastra kanon dan ada yang karya sastra popular. Penulis-penulis baru, selain penulis lama, kemudian menjamur menampakkan eksistensi dirinya. Dunia penerbitan juga terkena imbasnya seiring meningkatnya tumbuh-kembang minat baca di masyarakat kita. Di sudut lain, teori kritik (sastra) pun mengalami kemajuan seiring berkembangnya filsafat kontemporer. Berbagai nama baru kemudian bermunculan mulai dari postruktural, poskolonial, posfeminis hingga posmodern. Setiap teori saling mempengaruhi dan memunculkan teori-teori baru. Karya sastra dan analisis sastra akhirnya bertransformasi layaknya dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Memahami kemajuan dunia sastra kemudian juga mesti dipahami dengan bagaimana menempatkan teori dan metode yang tepat untuk dipakai dalam menganalisis karya sastra itu sendiri.

Kritik sastra Marxisme, sebagai salah satu metode analisis sastra yang cukup kompleks, kemudian muncul sebagai bagian tak terpisahkan dari rangkaian panjang analisis sastra, kajian historis dan fenomena sosial. Untuk memahami kritik sastra Marxisme ini akan ditinjau dari beberapa hal yang terkait dengan landasan pemikiran Marx itu sendiri dan bagaimana kemudian pemikiran Marx mempengaruhi pemikir-pemikir lain sesudahnya. Kritik sastra Marxisme itu sendiri dianggap cukup penting mengingat banyaknya kemudian teori kritik sastra yang dipengaruhi oleh Marxisme itu sendiri. Aliran pemikiran ini dipandang sebagai cara analisis paling unik yang tak hanya membahas sastra sebagai text saja namun bagaimana kemudian wacana (context) dapat saling berkesinambungan dalam analisis sastra. Ulasan ini hanya sebagai kata pengantar dari perkembangan kritik sastra Marxisme itu sendiri. Terdapat beberapa pengulangan dalam beberapa poin tertentu dengan maksud untuk meningkatkan pemahaman akan rumitnya Marxisme itu sendiri.

Landasan Pemikiran Marx; Pengaruh Hegel dan Feuerbach

Kritik Marxisme sendiri dipengaruhi oleh filsafat materialisme-dialektika, yang merupakan suatu bentuk kritiknya terhadap pemikiran ”idealisme” Hegel dan ”materialisme” Feuerbach. Dialektika dalam bahasa Latin diartikan sebagai suatu investigasi kebenaran melalui diskusi. Bagi Hegel (dalam Prabowo, 2002: 68-69) dialektika merupakan konsepsi penyangkalan dan pembenaran dalam semacam relasi yang bersifat negasi-dialektik (tesis-antitesis-sintesis)
. Dalam dialektika dunia tersusun dari proses, hubungan, dinamika, konflik dan kontradiksi. Hal ini diterima oleh Marx sebagai pedoman filsafatnya namun ia menolak ”idealisme” Hegel yang menganggap ”pikiran” atau ”ide” merupakan faktor primer sementara ”materi” sebagai faktor sekunder. Jadi menurut Marx (dalam Ritzer, 2003: 26) dialektika adalah pengetahuan hukum-hukum umum (pertentangan, perubahan, lompatan, dorongan) dalam proses dan gerak yang terus berlaku dalam dunia materi bukan di dunia ’ide’nya Hegel. Ekonomi, yang kemudian menjadi korpus penelitian Marx, akhirnya dianggap sebagai bagian dari dialektika materialis; dialektika dalam hubungannya dengan dunia material.

Marxisme ialah aliran pemikiran yang bertolak dari realitas kongkret (material) yang dirancang sebagai ”alat berpikir” untuk melakukan perubahan dunia kongkret; dunia manusia (materi). Hegel dengan ”dialektika idealis” dianggap Marx sudah tak mampu lagi membaca perubahan zaman seiring meningkatnya efek dari revolusi industri, oleh karena itu Marx lebih cenderung ke arah ”dialektika materialis”. Perubahan dari feodalisme ke borjuasi akibat semaraknya praktik kapitalisme kemudian menjadi titik tolak Marxisme. Pertentangan-pertentangan ”abadi” inilah yang kemudian dimodifikasi oleh Marx (dalam Prabowo, 2002: 77) sebagai pertentangan abadi antara kelas yang berpunya (borjuis) dan kaum tak berpunya (proletar) yang ditentukan oleh corak produksi masyarakat itu sendiri. Kontradiksi produksi inilah yang semakin memperkaya si kaya dan semakin memiskinkan si miskin. Marx beranggapan bahwa dengan menguasai ”hak milik bersama” atas alat produksi akan menghasilkan ”kemakmuran bersama”. Lalu dengan adanya politik dan instrumen operasional lain akan tercipta masyarakat baru; masyarakat yang dikendalikan oleh kelas tak berpunya (sosialisme) hingga tercipta masyarakat tanpa kelas (komunisme). Sosialisme adalah jalan menuju komunisme.

Marx (dalam Prabowo, 2002:78) kemudian bertolak dari pandangannya bahwa tugas dari filsafat bukanlah mengartikan dunia namun bagaimana mengubah dunia untuk menampilkan konsepnya tentang materialisme-historis. Bagi Marx, hukum sejarah berlaku dialektik dalam artian sejarah adalah ”sejarah” panjang perjuangan kelas tertindas sebagai bentuk antitesis menuju sintesis. Jadi pencipta sejarah, bagi Marx, adalah massa kelas pekerja bukan bangsawan. Marx dengan demikian menentang konsepsi materialisme Feuerbach yang dianggap ahistoris. Marx (dalam Prabowo, 2002: 81) lantas mengkonsepsikan materialisme-historis sebagai konstruksi sejarah masyarakat yang berasal dari basis material dalam suatu proses daya cipta (produksi), pemenuhan kebutuhan hidup dan penciptaan ulang (reproduksi) kebutuhan masyarakat yang tanpa henti.

Kegiatan produksi, dalam pengertian sejarah Marx, adalah akar dari masyarakat. Produksi kehidupan material adalah syarat dasar dari semua sejarah yang harus dipenuhi guna menupang kehidupan manusia. Konsepsi kelas lahir dari pembagian produksi dalam masyarakat ini. Hubungan antar kelas (ekonomi) dan kekuasaan politik kemudian bertalian erat di sini. Inilah kemudian yang menjadi perhatian utama dalam Marxisme. Marx (dalam Ritzer, 2003:31) percaya bahwa manusia secara alamiah adalah mahluk sosial dan dalam produktivitas mereka membutuhkan manusia lain oleh karena itu mereka menciptakan struktur tertentu. Proses alamiah ini pun kemudian dihancurkan oleh struktur yang justru diciptakan manusia itu sendiri. Penghancuran ini, bagi Marx, terjadi paling parah di dalam struktur masyarakat kapitalis. Dalam artian, penghancuran proses produktif alamiah mencapai titik puncaknya dalam kapitalisme.

Kapitalisme akhirnya dilihat Marx sebagai suatu struktur pemisah antara individu dan proses produksi, produk yang diproses dan orang lain; dan memisahkan diri individu itu sendiri. Manusia teralienasi oleh kapitalisme yang telah menciptakan sistem dua kelas dimana sejumlah kecil kaum kapitalis menguasai proses produksi, produk, dan jam kerja dari para pekerja (proletar) yang bekerja untuk mereka. Manusia tak lagi berproduksi untuk diri mereka sendiri melainkan untuk sebagian kecil para kapitalis. Marx akhirnya memusatkan pemikirannya pada struktur kapitalisme dan dampak penindasannya terhadap kaum buruh. Sementara secara politis ia mengerahkan pemikirannya untuk pembebasan manusia dengan penghancuran sistem kapitalisme itu dan digantikan dengan sosialisme.

Sastra dan Kritik (Neo)Marxisme

Keterkaitan sastra sebagai bagian dari produksi masyarakat itu sendiri kemudian memunculkan keinginan pemikir-pemikir Marxian yang merumuskan pemikiran mereka untuk menganalisis karya sastra berdasar pemikiran Marx. Teori kritis atau yang lebih dikenal sebagai neo-Marxisme ini mencoba mengambil teori Marxian sebagai titik tolaknya yang ditujukan sebagai kajian penelitian ilmiah. Teori kritis, menurut Ritzer (2003: 177), berusaha untuk membuat semacam sistematika Marxisme dengan memusatkan perhatian pada aktivitas manusia maupun pada cara-cara aktivitas itu mempengaruhi struktur sosial yang lebih luas. Ciri khas dari teori kritis ini ialah mereka berusaha mengkritik masyarakat modern dan segala bentuk komponennya melalui kaca mata Marxisme yang dikaji secara ilmiah. Sebagai perbandingan, Marx dengan tegas tertuju ke bidang ekonomi sementara teori kritis menggeser orientasinya ke arah kultural yang dianggap sebagai realitas masyarakat modern. Lalu bagaimana keterkaitan antara teori kritis dan aplikasi kritik sastra?

Terry Eagleton, sebagai salah seorang pemikir neo-Marxian, dalam bukunya yang berjudul “Marxisme dan Kritik Sastra” membagi empat tahapan penting dalam mengaplikasikan Marxisme dalam kritik sastra; sastra dan sejarah, bentuk dan isi, pengarang dan komitmen, dan pengarang sebagai produser. Sejarah, seperti yang sudah dibahas tadi, merupakan salah satu landasan pemikiran Marx yang dikaitkan dengan bagaimana kondisi politik dan ekonomi (kapitalisme) mampu mempengaruhi kondisi sosial. Marx (dalam Eagleton, 2002: 5) mengatakan bahwa bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya namun sebaliknya, keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka. Jadi hubungan sosial antar manusia memiliki keterkaitan dengan tingkat produksi mereka yang rumit. Kerumitan produksi (dan reproduksi) inilah yang kemudian menciptakan strata atau kelas dalam masyarakat itu sendiri. Hal ini yang kemudian menimbulkan kesenjangan sosial di masyarakat seperti terciptanya relasi dikotomi kaum kapital dan kaum proletar. Relasi ini kemudian membentuk struktur ekonomi masyarakat itu sendiri. Marx (dalam Eagleton, 2002:6) kemudian membagi struktur itu menjadi “infrastruktur” dan “superstruktur”. Infrastruktur merupakan sistem dasar dimana superstruktur berada. Sastra dan filsafat itu sendiri merupakan bagian dari superstruktur. Jadi sistem dasar (ekonomi) masyarakat itu sendiri akan mempengaruhi bentuk, gaya dan pemaknaan karya sastra (superstruktur) itu sendiri. Sejarah akhirnya dilihat oleh Marx sebagai perjalanan panjang dari perjuangan kelas (kapital dan proletar) dan relasi kompleks antara produksi-reproduksi itu sendiri.

Ideologi

Satu hal penting dalam kritik sastra Marxisme adalah pemaknaan ideologi. Marx (dalam Takwin, 2009; 58) sendiri menyebut ideologi sebagai ‘kesadaran palsu’ (false consciousness) karena tidak sesuai antara maksud dan kenyataannya. ‘Kesadaran palsu’ ini terbentuk karena realitas yang ditangkap oleh individu ‘dipalsukan’ di dalam kehidupan bermasyarakat oleh suatu sistem tertentu dan bagi Marx sistem itu adalah kapitalisme. Ideologi kemudian dianggap oleh Engels (dalam Eagleton, 2002: 20), partner andalan Marx, bukan hanya sebatas doktrin belaka namun ia menandakan nilai-nilai dan gagasan dominan sebagai sistem kepercayaan masyarakat yang bersifat mengikat mereka akan fungsi sosial mereka sendiri. Bagi Engels sendiri seni (sastra) itu memiliki keterkaitan yang sangat kompleks dengan ideologi. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh Louis Althuser yang mengatakan bahwa seni (sastra) tak dapat direduksi dari ideologi karena seni (sastra) memiliki “hubungan” khusus dengan ideologi. Seni (sastra) dirangkum dalam ideologi tapi juga mengatur jarak darinya sampai ke titik dimana seni memungkinkan kita untuk ‘merasa’ (to feel) dan ‘merasakan’ (to perceive) ideologi itu sendiri.
Pierre Macherey (dalam Eagleton, 2002: 23) kemudian berusaha membedakan antara ‘ilusi’ (makna, esensialitas, ideologi) dengan ‘fiksi’ dan baginya seni (sastra) mampu membebaskan masyarakat dari ilusi ideologi. Oleh karena itu teks sastra dan ideologi kemudian dapat dijadikan objek analisis ilmiah. Karya sastra kemudian menjadi bagian dari struktur ideologi dan juga sebaliknya. Ini merupakan salah satu landasan dari teori kritis itu sendiri.

Di bagian kedua, Eagleton mengambil poin tentang permasalahan ‘bentuk dan isi’ dalam kritik sastra Marxisme. Marx (dalam Eagleton, 2002: 26) sendiri percaya kalau sastra haruslah mengungkap kesatuan antara bentuk dan isi. ‘Isi’ dianggap lebih penting ketimbang ‘bentuk’ karena isi berubah dalam ‘kondisi’ material masyarakat yang menentukan ‘bentuk’ tingkatannya. Jadi kritik sastra Marxisme melihat bentuk dan isi berhubungan secara dialektik dan menegaskan keunggukan isi dalam menentukan bentuk. Sementara bentuk, menurut Eagleton (2002: 32) sendiri, selalu merupakan kesatuan yang kompleks. Ia terdiri dari tiga elemen; dibentuk oleh sejarah sastra yang ‘relatif otonom’, memiliki hubungan spesifik antara pengarang dan audien, dan keterbatasan pengarang secara ideologis dalam memilih bentuk itu sendiri. Keberhasilan pengarang dalam mengatasi ‘bentuk dan isi’ itu, dipandang oleh Lukacs (dalam Eagleton, 2002: 36) bukan hanya tergantung pada skill personal si pengarang tapi juga pada posisinya dalam sejarah.

Ada hal yang menarik dari Lukacs (dalam Takwin, 2009: 68), karena ia sendiri menolak pendapat Marx yang mengatakan ideologi sebagai ‘kesadaran palsu’ (false consciousness). Bagi Lukacs kesadaran manusia itu bersifat aktif, praktis dan dinamis. Pengertian ideologi sebagai ‘kesadaran palsu’ akan berimplikasi pada pasivitas dan akan sangat tergantung dengan realitas. Baginya ideologi bermakna positif jika isi kandungannya bersifat positif dan memberi pengaruh yang baik. Dalam artian setiap kesadaran kelas itu bersifat ideologis namun dengan isi dan kadar ideologis yang berbeda-beda. Untuk itu ia menekankan pentingnya ideologi sebagai bentuk kesadaran kelas proletar dalam menggerakkan kelas itu menuju apa yang hendak dicapainya; kebersatuan masyarakat sebagai proses kolektif.
Di bagian ketiga, Eagleton memfokuskan kepada ‘penulis dan komitmen’. Jika dikaitkan dengan sejarah bahwa pernah terdapat indoktrinasi yang bersifat ‘kepartaian’ dalam perkembangan karya sastra Marxis. Karya sastra mestilah melayani kepentingan partai yang berorientasi kepada partai-minded, optimis dan heroik. Karya sastra pun mesti berisi akan romantisme revolusi yang meramalkan masa depan. Perbedaan pendapat akan kemana arah sastra Marxist yang lebih diberatkan kepada realisme sosialis akhirnya lambat laun menimbulkan perpecahan di tubuh partai. Pramoedya Ananta Toer (dalam Kurniawan, 2006: 4) mengartikan sastra realisme sosialis sebagai metode yang diteruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah. Sementara di sudut lain, Lenin (dalam Eagleton, 2002: 49) yang menjadi terkenal setelah Revolusi Bolsevik mengatakan bahwa karya sastra haruslah menjadi roda penggerak dan baling-baling dari sebuah mesin besar sosial demokrasi. Baginya tak ada kenetralan penulis dalam tulisan karena baginya yang dibutuhkan adalah (karya) sastra yang luas, bentuk yang beragam dan tidak terpisah dari gerakan kelas pekerja. Ketertarikan Lenin pada sastra, bagi Eagleton (2002: 49), sangatlah konservatif dan mengagungkan realisme. Pada masanya kemudian muncul istilah sastra partai. Sastra terlihat sebagai bentuk represi akhirnya.

Hegemoni

Berkebalikan dengan pendapat Lenin yang mengutamakan ‘represivitas’ ideologi dalam perkembangan karya sastra, Gramsci memiliki pendapat berbeda. Ideologi, bagi Gramsci (dalam Takwin, 2009:73-74), juga bersifat non-represif; hegemonik. Hegemoni dapat dimaknai sebagai pemenangan kelas lewat penguasaan basis-basis pikiran (kognitif), kemampuan kritis, dan kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang keadaan sosial ke dalam kerangka pikir yang ditentukan. Dalam arti bukan secara menindas atau mengintimidasi melainkan melalui penguasaan intelektual dan moral. Karya sastra sepertinya dianggap mampu memunculkan hegemonic-ideology itu.
Sastra Marxis kemudian secara tipifikal dan secara sosial refleksif masuk ke dalam formulasi realisme sosialis. Marx sendiri menyenangi pengarang realis, satiris, radikal, dan terasing ke dalam romantisme. Sementara Engels (dalam Eagleton, 2002: 55) sama sekali tidak menolak karya fiksi yang bertendensi politik tapi akan menjadi masalah jika pengarang terang-terangan bersifat partisan. Novel berbasis sosialis hanya akan sampai ke sasaran jika dengan teliti ‘merefleksikan’ hubungan timpal balik yang real dalam rangka mengancurkan optimisme dunia borjuis. Di sisi lain, Eagleton (2002: 61) meneruskan pendapat Macherey tentang efek sastra yang hakikatnya adalah merusak bentuk (deform) dengan mengatakan bahwa sastra tidak berdiri dengan objeknya dalam bentuk refleksi, simetris, dan hubungan satu-satu. Bagi Eagleton, objek sastra itu telah dirusak (deformed), dibiaskan (refracted) dan dibubarkan (dissolved) sebagai bentuk koreksi terhadap permasalahan sastra yang memproduksi ulang realitas seperti sebuah cermin yang merefleksikan dunia (2002: 61-62).

Di bagian terakhir, ‘pengarang sebagai produser’, Eagleton mencoba memberikan kritiknya sendiri terkait dengan sastra dalam terminologi bentuk, politik, ideologi dan kesadaran. Baginya, sastra mungkin saja artefak, suatu produk kesadaran masyarakat, suatu pandangan dunia; tetapi sastra juga sebuah industri. Buku bukan hanya sebagai struktur makna; ia juga komoditi yang diproduksi oleh penerbit dan dijual di pasaran untuk mencari keuntungan. Drama adalah bisnis. Pengarang, bagi Eagleton (2002: 72), bukan hanya transposer (pengubah) struktur mental individual, mereka juga adalah pekerja yang diupah oleh penerbit untuk menghasilkan komoditi yang ingin dijual. Pengarang adalah produser itu sendiri bagi Eagleton. Pendapat Eagleton ini kemudian ditambahkan oleh Walter Benjamin dan Bertold Brecht yang melihat bahwa seni (sastra) juga merupakan sebuah praktek sosial. Pada akhirnya produk sastra (semestinya) tidak saja dipandang sebagai bentuk kajian teks dalam analisis akademis, tetapi juga sebagai bentuk aktivitas sosial, bentuk produksi sosial dan bentuk aktivitas ekonomi yang ternyata saling berhubungan satu sama lain. Inilah konsep teori kritis dalam kaitannya yang tidak saja secara determinisme ekonomi, namun juga kepada pengaruhnya terhadap kultur itu sendiri.

Pos-Marxisme: Foucault

Perubahan pemikir dari neo-Marxis yang menolak premis dasar teori Marx kemudian menciptakan pengelompokan baru yang diberi nama pos-Marxisme. Kelompok, yang sebenarnya tak mau dianggap kelompok, ini sebenarnya masih menggunakan sintesis neo-Marxisme namun dengan menggunakan teori, gagasan dan metode lain dalam penganalisaannya. Foucault adalah salah seorang contoh pemikir yang ”keluar” dari tradisi Marxian. Pengaruh dari postrukturalisme dan posmodernisme sangat kentara dalam penciptaan pos-Marxisme.

Jika dibandingkan model pertarungan kelas Marxis antara dua kelas yang saling berlawanan, Foucault (dalam Best & Kellner, 1991: 56) malah menekankan pluralitas pertarungan di level mikro seperti penjara, rumah sakit jiwa dan sekolah. Jika konsep makropolitik modern adalah perebutan kekuasaan terhadap centralized-power yang berakar pada ekonomi dan negara maka Foucault memakai konsep makropolitik posmodern dimana berbagai macam grup lokal mendistribusikan satu bentuk kekuasaan melalui cara tertentu. Oleh karena itu Foucault menolak hampir seluruh mazhab Marxisme klasik. Pembebasan atau emansipasi, misalnya, dilihat Foucault hanya sebagai bentuk esensialitas manusia yang ingin dibebaskan dari genggaman kekuasaan yang represif. Foucault (dalam Best & Kellner, 1991: 55), yang menekankan pemikirannya pada konsep power/knowledge, mengatakan bahwa kekuasaan itu ada di mana saja yang tak terpisahkan dari bentuk kontestasi (contestation) dan perlawanan; selama ada afirmasi kekuasaan maka di sana ada kemungkinan pemberontakan (resistance).

Kekuasaan itu sendiri, bagi Foucault, berdifusi di ranah sosial yang melibatkan subjektivitas individu itu dengan pengetahuan (knowledge) yang ia punyai dalam ’menjajah’ tubuhnya sendiri sehingga tercipta kepatuhan (obedience) dan kenyamanan (conformity) dalam dirinya. Foucault memfokuskan kritiknya terhadap masyarakat modern yang terdisiplinkan, ternormalisasi dan terpanoptisisme sehingga mereka seakan tersurvei, teradili, terukur dan terkoreksi oleh suatu hubungan kekuasaan (power relation). Panoptisisme sendiri adalah sebuah sistem pengawasan (surveillance) atau sistem kontrol dimana yang diawasi (surveyed) itu dapat ’terdisiplinkan’ tanpa ia secara sadar telah merasa didisiplinkan. Foucault akhirnya percaya bahwa Marxisme tak lagi dapat dipakai untuk menganalisis peradaban posmodern. Marxisme telah gagal mengartikan konsep ”kekuasaan” dan ”perjuangan kelas” di ranah sosial posmodern karena bagi Foucault (dalam Best & Kellner, 1991: 49) kekuasaan (power) bukan lagi beroperasi melalui paksaan fisik dan represi negara berdasar hukum, melainkan melalui hegemoni norma sosial, simbiosis teknologi dengan politik, dan pembentukan (shaping) tubuh dan jiwa itu sendiri.

Penutup

Selain uraian yang telah disampaikan di atas, kritik sastra itu juga menekankan kepada ketelitian ’membaca’ (reading) teks dan mengkorelasikannya dengan wacana (context) yang sesuai dengan topik yang akan diangkat. Membaca teks itu sendiri bisa melalui close-reading atau pun symtomatic-reading, seperti yang digagas oleh Macherey, dengan tak lupa memperhatikan unsur-unsur intrinsik (element of fiction) dan ekstrinsik (wacana, sejarah, politik, dll) dalam penganalisaan karya. Tentu tak semua teori dapat dipakai dan dipaksakan. Namun dengan metodologi yang jelas dan terarah akan sangat membantu analisis sastra itu sendiri. Semoga uraian sederhana ini dapat sedikit banyaknya membantu dalam penganalisaan kritik sastra terutama bagi mereka yang ingin menganalisa melalui pendekatan Marxisme.


Daftar Pustaka

Best, Steven and Douglas Kellner. 1991. Postmodern Theory: Critical Investigations. New York; The Guilford Press

Eagleton, Terry. 2002. Marxisme dan Kritik Sastra (terj). Yogyakarta; Sumbu

Kurniawan, Eko. 2006. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Jakarta; Gramedia

Prabowo, Hary. 2002. Perspektif Marxisme; Tan Malaka: Teori dan Praksis Menuju Republik. Yogyakarta; Jendela

Ritzer, George. 2003. Modern Sociological Theory (terj). Jakarta; Kencana

Takwin, Bagus. 2009. Akar-Akar Ideologi. Yogyakarta; Jala Sutra


Disampaikan dalam diskusi bersama Komunitas Ruangsempit di FBSS UNP, 1/12/09

Devy Kurnia Alamsyah adalah lulusan Sastra Inggris UNP, kini tengah menyelesaikan studi Magister Ilmu Susastra di FIB Universitas Indonesia
Tags: teori sastra
Prev: Fenomena 2012
Next: Ramayana: Beyond Good and Evil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar