Rabu, 16 Juni 2010

Marxisme

Oleh Devy Kurnia Alamsyah, SS

”Manusia adalah hasil dari keadaan dan didikan.
Keadaan itu mesti dirubah sendiri oleh manusia itu sendiri
dan bahkan seorang pendidik pun harus dididik”
- Karl Marx -


Pendahuluan

Realitas kehidupan (ekonomi, politik) dengan segala fenomena sosial yang mengitarinya tentunya telah mengilhami berbagai penulis di dunia untuk sedikit banyaknya memasukkan permasalahan tersebut ke dalam karya mereka. Beragam karya sastra kontemporer, yang sepertinya kini seakan-akan terkotak-kotak, kemudian bermunculan tak terhindarkan. Ada yang dikategorikan sastra kanon dan ada yang karya sastra popular. Penulis-penulis baru, selain penulis lama, kemudian menjamur menampakkan eksistensi dirinya. Dunia penerbitan juga terkena imbasnya seiring meningkatnya tumbuh-kembang minat baca di masyarakat kita. Di sudut lain, teori kritik (sastra) pun mengalami kemajuan seiring berkembangnya filsafat kontemporer. Berbagai nama baru kemudian bermunculan mulai dari postruktural, poskolonial, posfeminis hingga posmodern. Setiap teori saling mempengaruhi dan memunculkan teori-teori baru. Karya sastra dan analisis sastra akhirnya bertransformasi layaknya dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Memahami kemajuan dunia sastra kemudian juga mesti dipahami dengan bagaimana menempatkan teori dan metode yang tepat untuk dipakai dalam menganalisis karya sastra itu sendiri.

Kritik sastra Marxisme, sebagai salah satu metode analisis sastra yang cukup kompleks, kemudian muncul sebagai bagian tak terpisahkan dari rangkaian panjang analisis sastra, kajian historis dan fenomena sosial. Untuk memahami kritik sastra Marxisme ini akan ditinjau dari beberapa hal yang terkait dengan landasan pemikiran Marx itu sendiri dan bagaimana kemudian pemikiran Marx mempengaruhi pemikir-pemikir lain sesudahnya. Kritik sastra Marxisme itu sendiri dianggap cukup penting mengingat banyaknya kemudian teori kritik sastra yang dipengaruhi oleh Marxisme itu sendiri. Aliran pemikiran ini dipandang sebagai cara analisis paling unik yang tak hanya membahas sastra sebagai text saja namun bagaimana kemudian wacana (context) dapat saling berkesinambungan dalam analisis sastra. Ulasan ini hanya sebagai kata pengantar dari perkembangan kritik sastra Marxisme itu sendiri. Terdapat beberapa pengulangan dalam beberapa poin tertentu dengan maksud untuk meningkatkan pemahaman akan rumitnya Marxisme itu sendiri.

Landasan Pemikiran Marx; Pengaruh Hegel dan Feuerbach

Kritik Marxisme sendiri dipengaruhi oleh filsafat materialisme-dialektika, yang merupakan suatu bentuk kritiknya terhadap pemikiran ”idealisme” Hegel dan ”materialisme” Feuerbach. Dialektika dalam bahasa Latin diartikan sebagai suatu investigasi kebenaran melalui diskusi. Bagi Hegel (dalam Prabowo, 2002: 68-69) dialektika merupakan konsepsi penyangkalan dan pembenaran dalam semacam relasi yang bersifat negasi-dialektik (tesis-antitesis-sintesis)
. Dalam dialektika dunia tersusun dari proses, hubungan, dinamika, konflik dan kontradiksi. Hal ini diterima oleh Marx sebagai pedoman filsafatnya namun ia menolak ”idealisme” Hegel yang menganggap ”pikiran” atau ”ide” merupakan faktor primer sementara ”materi” sebagai faktor sekunder. Jadi menurut Marx (dalam Ritzer, 2003: 26) dialektika adalah pengetahuan hukum-hukum umum (pertentangan, perubahan, lompatan, dorongan) dalam proses dan gerak yang terus berlaku dalam dunia materi bukan di dunia ’ide’nya Hegel. Ekonomi, yang kemudian menjadi korpus penelitian Marx, akhirnya dianggap sebagai bagian dari dialektika materialis; dialektika dalam hubungannya dengan dunia material.

Marxisme ialah aliran pemikiran yang bertolak dari realitas kongkret (material) yang dirancang sebagai ”alat berpikir” untuk melakukan perubahan dunia kongkret; dunia manusia (materi). Hegel dengan ”dialektika idealis” dianggap Marx sudah tak mampu lagi membaca perubahan zaman seiring meningkatnya efek dari revolusi industri, oleh karena itu Marx lebih cenderung ke arah ”dialektika materialis”. Perubahan dari feodalisme ke borjuasi akibat semaraknya praktik kapitalisme kemudian menjadi titik tolak Marxisme. Pertentangan-pertentangan ”abadi” inilah yang kemudian dimodifikasi oleh Marx (dalam Prabowo, 2002: 77) sebagai pertentangan abadi antara kelas yang berpunya (borjuis) dan kaum tak berpunya (proletar) yang ditentukan oleh corak produksi masyarakat itu sendiri. Kontradiksi produksi inilah yang semakin memperkaya si kaya dan semakin memiskinkan si miskin. Marx beranggapan bahwa dengan menguasai ”hak milik bersama” atas alat produksi akan menghasilkan ”kemakmuran bersama”. Lalu dengan adanya politik dan instrumen operasional lain akan tercipta masyarakat baru; masyarakat yang dikendalikan oleh kelas tak berpunya (sosialisme) hingga tercipta masyarakat tanpa kelas (komunisme). Sosialisme adalah jalan menuju komunisme.

Marx (dalam Prabowo, 2002:78) kemudian bertolak dari pandangannya bahwa tugas dari filsafat bukanlah mengartikan dunia namun bagaimana mengubah dunia untuk menampilkan konsepnya tentang materialisme-historis. Bagi Marx, hukum sejarah berlaku dialektik dalam artian sejarah adalah ”sejarah” panjang perjuangan kelas tertindas sebagai bentuk antitesis menuju sintesis. Jadi pencipta sejarah, bagi Marx, adalah massa kelas pekerja bukan bangsawan. Marx dengan demikian menentang konsepsi materialisme Feuerbach yang dianggap ahistoris. Marx (dalam Prabowo, 2002: 81) lantas mengkonsepsikan materialisme-historis sebagai konstruksi sejarah masyarakat yang berasal dari basis material dalam suatu proses daya cipta (produksi), pemenuhan kebutuhan hidup dan penciptaan ulang (reproduksi) kebutuhan masyarakat yang tanpa henti.

Kegiatan produksi, dalam pengertian sejarah Marx, adalah akar dari masyarakat. Produksi kehidupan material adalah syarat dasar dari semua sejarah yang harus dipenuhi guna menupang kehidupan manusia. Konsepsi kelas lahir dari pembagian produksi dalam masyarakat ini. Hubungan antar kelas (ekonomi) dan kekuasaan politik kemudian bertalian erat di sini. Inilah kemudian yang menjadi perhatian utama dalam Marxisme. Marx (dalam Ritzer, 2003:31) percaya bahwa manusia secara alamiah adalah mahluk sosial dan dalam produktivitas mereka membutuhkan manusia lain oleh karena itu mereka menciptakan struktur tertentu. Proses alamiah ini pun kemudian dihancurkan oleh struktur yang justru diciptakan manusia itu sendiri. Penghancuran ini, bagi Marx, terjadi paling parah di dalam struktur masyarakat kapitalis. Dalam artian, penghancuran proses produktif alamiah mencapai titik puncaknya dalam kapitalisme.

Kapitalisme akhirnya dilihat Marx sebagai suatu struktur pemisah antara individu dan proses produksi, produk yang diproses dan orang lain; dan memisahkan diri individu itu sendiri. Manusia teralienasi oleh kapitalisme yang telah menciptakan sistem dua kelas dimana sejumlah kecil kaum kapitalis menguasai proses produksi, produk, dan jam kerja dari para pekerja (proletar) yang bekerja untuk mereka. Manusia tak lagi berproduksi untuk diri mereka sendiri melainkan untuk sebagian kecil para kapitalis. Marx akhirnya memusatkan pemikirannya pada struktur kapitalisme dan dampak penindasannya terhadap kaum buruh. Sementara secara politis ia mengerahkan pemikirannya untuk pembebasan manusia dengan penghancuran sistem kapitalisme itu dan digantikan dengan sosialisme.

Sastra dan Kritik (Neo)Marxisme

Keterkaitan sastra sebagai bagian dari produksi masyarakat itu sendiri kemudian memunculkan keinginan pemikir-pemikir Marxian yang merumuskan pemikiran mereka untuk menganalisis karya sastra berdasar pemikiran Marx. Teori kritis atau yang lebih dikenal sebagai neo-Marxisme ini mencoba mengambil teori Marxian sebagai titik tolaknya yang ditujukan sebagai kajian penelitian ilmiah. Teori kritis, menurut Ritzer (2003: 177), berusaha untuk membuat semacam sistematika Marxisme dengan memusatkan perhatian pada aktivitas manusia maupun pada cara-cara aktivitas itu mempengaruhi struktur sosial yang lebih luas. Ciri khas dari teori kritis ini ialah mereka berusaha mengkritik masyarakat modern dan segala bentuk komponennya melalui kaca mata Marxisme yang dikaji secara ilmiah. Sebagai perbandingan, Marx dengan tegas tertuju ke bidang ekonomi sementara teori kritis menggeser orientasinya ke arah kultural yang dianggap sebagai realitas masyarakat modern. Lalu bagaimana keterkaitan antara teori kritis dan aplikasi kritik sastra?

Terry Eagleton, sebagai salah seorang pemikir neo-Marxian, dalam bukunya yang berjudul “Marxisme dan Kritik Sastra” membagi empat tahapan penting dalam mengaplikasikan Marxisme dalam kritik sastra; sastra dan sejarah, bentuk dan isi, pengarang dan komitmen, dan pengarang sebagai produser. Sejarah, seperti yang sudah dibahas tadi, merupakan salah satu landasan pemikiran Marx yang dikaitkan dengan bagaimana kondisi politik dan ekonomi (kapitalisme) mampu mempengaruhi kondisi sosial. Marx (dalam Eagleton, 2002: 5) mengatakan bahwa bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya namun sebaliknya, keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka. Jadi hubungan sosial antar manusia memiliki keterkaitan dengan tingkat produksi mereka yang rumit. Kerumitan produksi (dan reproduksi) inilah yang kemudian menciptakan strata atau kelas dalam masyarakat itu sendiri. Hal ini yang kemudian menimbulkan kesenjangan sosial di masyarakat seperti terciptanya relasi dikotomi kaum kapital dan kaum proletar. Relasi ini kemudian membentuk struktur ekonomi masyarakat itu sendiri. Marx (dalam Eagleton, 2002:6) kemudian membagi struktur itu menjadi “infrastruktur” dan “superstruktur”. Infrastruktur merupakan sistem dasar dimana superstruktur berada. Sastra dan filsafat itu sendiri merupakan bagian dari superstruktur. Jadi sistem dasar (ekonomi) masyarakat itu sendiri akan mempengaruhi bentuk, gaya dan pemaknaan karya sastra (superstruktur) itu sendiri. Sejarah akhirnya dilihat oleh Marx sebagai perjalanan panjang dari perjuangan kelas (kapital dan proletar) dan relasi kompleks antara produksi-reproduksi itu sendiri.

Ideologi

Satu hal penting dalam kritik sastra Marxisme adalah pemaknaan ideologi. Marx (dalam Takwin, 2009; 58) sendiri menyebut ideologi sebagai ‘kesadaran palsu’ (false consciousness) karena tidak sesuai antara maksud dan kenyataannya. ‘Kesadaran palsu’ ini terbentuk karena realitas yang ditangkap oleh individu ‘dipalsukan’ di dalam kehidupan bermasyarakat oleh suatu sistem tertentu dan bagi Marx sistem itu adalah kapitalisme. Ideologi kemudian dianggap oleh Engels (dalam Eagleton, 2002: 20), partner andalan Marx, bukan hanya sebatas doktrin belaka namun ia menandakan nilai-nilai dan gagasan dominan sebagai sistem kepercayaan masyarakat yang bersifat mengikat mereka akan fungsi sosial mereka sendiri. Bagi Engels sendiri seni (sastra) itu memiliki keterkaitan yang sangat kompleks dengan ideologi. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh Louis Althuser yang mengatakan bahwa seni (sastra) tak dapat direduksi dari ideologi karena seni (sastra) memiliki “hubungan” khusus dengan ideologi. Seni (sastra) dirangkum dalam ideologi tapi juga mengatur jarak darinya sampai ke titik dimana seni memungkinkan kita untuk ‘merasa’ (to feel) dan ‘merasakan’ (to perceive) ideologi itu sendiri.
Pierre Macherey (dalam Eagleton, 2002: 23) kemudian berusaha membedakan antara ‘ilusi’ (makna, esensialitas, ideologi) dengan ‘fiksi’ dan baginya seni (sastra) mampu membebaskan masyarakat dari ilusi ideologi. Oleh karena itu teks sastra dan ideologi kemudian dapat dijadikan objek analisis ilmiah. Karya sastra kemudian menjadi bagian dari struktur ideologi dan juga sebaliknya. Ini merupakan salah satu landasan dari teori kritis itu sendiri.

Di bagian kedua, Eagleton mengambil poin tentang permasalahan ‘bentuk dan isi’ dalam kritik sastra Marxisme. Marx (dalam Eagleton, 2002: 26) sendiri percaya kalau sastra haruslah mengungkap kesatuan antara bentuk dan isi. ‘Isi’ dianggap lebih penting ketimbang ‘bentuk’ karena isi berubah dalam ‘kondisi’ material masyarakat yang menentukan ‘bentuk’ tingkatannya. Jadi kritik sastra Marxisme melihat bentuk dan isi berhubungan secara dialektik dan menegaskan keunggukan isi dalam menentukan bentuk. Sementara bentuk, menurut Eagleton (2002: 32) sendiri, selalu merupakan kesatuan yang kompleks. Ia terdiri dari tiga elemen; dibentuk oleh sejarah sastra yang ‘relatif otonom’, memiliki hubungan spesifik antara pengarang dan audien, dan keterbatasan pengarang secara ideologis dalam memilih bentuk itu sendiri. Keberhasilan pengarang dalam mengatasi ‘bentuk dan isi’ itu, dipandang oleh Lukacs (dalam Eagleton, 2002: 36) bukan hanya tergantung pada skill personal si pengarang tapi juga pada posisinya dalam sejarah.

Ada hal yang menarik dari Lukacs (dalam Takwin, 2009: 68), karena ia sendiri menolak pendapat Marx yang mengatakan ideologi sebagai ‘kesadaran palsu’ (false consciousness). Bagi Lukacs kesadaran manusia itu bersifat aktif, praktis dan dinamis. Pengertian ideologi sebagai ‘kesadaran palsu’ akan berimplikasi pada pasivitas dan akan sangat tergantung dengan realitas. Baginya ideologi bermakna positif jika isi kandungannya bersifat positif dan memberi pengaruh yang baik. Dalam artian setiap kesadaran kelas itu bersifat ideologis namun dengan isi dan kadar ideologis yang berbeda-beda. Untuk itu ia menekankan pentingnya ideologi sebagai bentuk kesadaran kelas proletar dalam menggerakkan kelas itu menuju apa yang hendak dicapainya; kebersatuan masyarakat sebagai proses kolektif.
Di bagian ketiga, Eagleton memfokuskan kepada ‘penulis dan komitmen’. Jika dikaitkan dengan sejarah bahwa pernah terdapat indoktrinasi yang bersifat ‘kepartaian’ dalam perkembangan karya sastra Marxis. Karya sastra mestilah melayani kepentingan partai yang berorientasi kepada partai-minded, optimis dan heroik. Karya sastra pun mesti berisi akan romantisme revolusi yang meramalkan masa depan. Perbedaan pendapat akan kemana arah sastra Marxist yang lebih diberatkan kepada realisme sosialis akhirnya lambat laun menimbulkan perpecahan di tubuh partai. Pramoedya Ananta Toer (dalam Kurniawan, 2006: 4) mengartikan sastra realisme sosialis sebagai metode yang diteruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah. Sementara di sudut lain, Lenin (dalam Eagleton, 2002: 49) yang menjadi terkenal setelah Revolusi Bolsevik mengatakan bahwa karya sastra haruslah menjadi roda penggerak dan baling-baling dari sebuah mesin besar sosial demokrasi. Baginya tak ada kenetralan penulis dalam tulisan karena baginya yang dibutuhkan adalah (karya) sastra yang luas, bentuk yang beragam dan tidak terpisah dari gerakan kelas pekerja. Ketertarikan Lenin pada sastra, bagi Eagleton (2002: 49), sangatlah konservatif dan mengagungkan realisme. Pada masanya kemudian muncul istilah sastra partai. Sastra terlihat sebagai bentuk represi akhirnya.

Hegemoni

Berkebalikan dengan pendapat Lenin yang mengutamakan ‘represivitas’ ideologi dalam perkembangan karya sastra, Gramsci memiliki pendapat berbeda. Ideologi, bagi Gramsci (dalam Takwin, 2009:73-74), juga bersifat non-represif; hegemonik. Hegemoni dapat dimaknai sebagai pemenangan kelas lewat penguasaan basis-basis pikiran (kognitif), kemampuan kritis, dan kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang keadaan sosial ke dalam kerangka pikir yang ditentukan. Dalam arti bukan secara menindas atau mengintimidasi melainkan melalui penguasaan intelektual dan moral. Karya sastra sepertinya dianggap mampu memunculkan hegemonic-ideology itu.
Sastra Marxis kemudian secara tipifikal dan secara sosial refleksif masuk ke dalam formulasi realisme sosialis. Marx sendiri menyenangi pengarang realis, satiris, radikal, dan terasing ke dalam romantisme. Sementara Engels (dalam Eagleton, 2002: 55) sama sekali tidak menolak karya fiksi yang bertendensi politik tapi akan menjadi masalah jika pengarang terang-terangan bersifat partisan. Novel berbasis sosialis hanya akan sampai ke sasaran jika dengan teliti ‘merefleksikan’ hubungan timpal balik yang real dalam rangka mengancurkan optimisme dunia borjuis. Di sisi lain, Eagleton (2002: 61) meneruskan pendapat Macherey tentang efek sastra yang hakikatnya adalah merusak bentuk (deform) dengan mengatakan bahwa sastra tidak berdiri dengan objeknya dalam bentuk refleksi, simetris, dan hubungan satu-satu. Bagi Eagleton, objek sastra itu telah dirusak (deformed), dibiaskan (refracted) dan dibubarkan (dissolved) sebagai bentuk koreksi terhadap permasalahan sastra yang memproduksi ulang realitas seperti sebuah cermin yang merefleksikan dunia (2002: 61-62).

Di bagian terakhir, ‘pengarang sebagai produser’, Eagleton mencoba memberikan kritiknya sendiri terkait dengan sastra dalam terminologi bentuk, politik, ideologi dan kesadaran. Baginya, sastra mungkin saja artefak, suatu produk kesadaran masyarakat, suatu pandangan dunia; tetapi sastra juga sebuah industri. Buku bukan hanya sebagai struktur makna; ia juga komoditi yang diproduksi oleh penerbit dan dijual di pasaran untuk mencari keuntungan. Drama adalah bisnis. Pengarang, bagi Eagleton (2002: 72), bukan hanya transposer (pengubah) struktur mental individual, mereka juga adalah pekerja yang diupah oleh penerbit untuk menghasilkan komoditi yang ingin dijual. Pengarang adalah produser itu sendiri bagi Eagleton. Pendapat Eagleton ini kemudian ditambahkan oleh Walter Benjamin dan Bertold Brecht yang melihat bahwa seni (sastra) juga merupakan sebuah praktek sosial. Pada akhirnya produk sastra (semestinya) tidak saja dipandang sebagai bentuk kajian teks dalam analisis akademis, tetapi juga sebagai bentuk aktivitas sosial, bentuk produksi sosial dan bentuk aktivitas ekonomi yang ternyata saling berhubungan satu sama lain. Inilah konsep teori kritis dalam kaitannya yang tidak saja secara determinisme ekonomi, namun juga kepada pengaruhnya terhadap kultur itu sendiri.

Pos-Marxisme: Foucault

Perubahan pemikir dari neo-Marxis yang menolak premis dasar teori Marx kemudian menciptakan pengelompokan baru yang diberi nama pos-Marxisme. Kelompok, yang sebenarnya tak mau dianggap kelompok, ini sebenarnya masih menggunakan sintesis neo-Marxisme namun dengan menggunakan teori, gagasan dan metode lain dalam penganalisaannya. Foucault adalah salah seorang contoh pemikir yang ”keluar” dari tradisi Marxian. Pengaruh dari postrukturalisme dan posmodernisme sangat kentara dalam penciptaan pos-Marxisme.

Jika dibandingkan model pertarungan kelas Marxis antara dua kelas yang saling berlawanan, Foucault (dalam Best & Kellner, 1991: 56) malah menekankan pluralitas pertarungan di level mikro seperti penjara, rumah sakit jiwa dan sekolah. Jika konsep makropolitik modern adalah perebutan kekuasaan terhadap centralized-power yang berakar pada ekonomi dan negara maka Foucault memakai konsep makropolitik posmodern dimana berbagai macam grup lokal mendistribusikan satu bentuk kekuasaan melalui cara tertentu. Oleh karena itu Foucault menolak hampir seluruh mazhab Marxisme klasik. Pembebasan atau emansipasi, misalnya, dilihat Foucault hanya sebagai bentuk esensialitas manusia yang ingin dibebaskan dari genggaman kekuasaan yang represif. Foucault (dalam Best & Kellner, 1991: 55), yang menekankan pemikirannya pada konsep power/knowledge, mengatakan bahwa kekuasaan itu ada di mana saja yang tak terpisahkan dari bentuk kontestasi (contestation) dan perlawanan; selama ada afirmasi kekuasaan maka di sana ada kemungkinan pemberontakan (resistance).

Kekuasaan itu sendiri, bagi Foucault, berdifusi di ranah sosial yang melibatkan subjektivitas individu itu dengan pengetahuan (knowledge) yang ia punyai dalam ’menjajah’ tubuhnya sendiri sehingga tercipta kepatuhan (obedience) dan kenyamanan (conformity) dalam dirinya. Foucault memfokuskan kritiknya terhadap masyarakat modern yang terdisiplinkan, ternormalisasi dan terpanoptisisme sehingga mereka seakan tersurvei, teradili, terukur dan terkoreksi oleh suatu hubungan kekuasaan (power relation). Panoptisisme sendiri adalah sebuah sistem pengawasan (surveillance) atau sistem kontrol dimana yang diawasi (surveyed) itu dapat ’terdisiplinkan’ tanpa ia secara sadar telah merasa didisiplinkan. Foucault akhirnya percaya bahwa Marxisme tak lagi dapat dipakai untuk menganalisis peradaban posmodern. Marxisme telah gagal mengartikan konsep ”kekuasaan” dan ”perjuangan kelas” di ranah sosial posmodern karena bagi Foucault (dalam Best & Kellner, 1991: 49) kekuasaan (power) bukan lagi beroperasi melalui paksaan fisik dan represi negara berdasar hukum, melainkan melalui hegemoni norma sosial, simbiosis teknologi dengan politik, dan pembentukan (shaping) tubuh dan jiwa itu sendiri.

Penutup

Selain uraian yang telah disampaikan di atas, kritik sastra itu juga menekankan kepada ketelitian ’membaca’ (reading) teks dan mengkorelasikannya dengan wacana (context) yang sesuai dengan topik yang akan diangkat. Membaca teks itu sendiri bisa melalui close-reading atau pun symtomatic-reading, seperti yang digagas oleh Macherey, dengan tak lupa memperhatikan unsur-unsur intrinsik (element of fiction) dan ekstrinsik (wacana, sejarah, politik, dll) dalam penganalisaan karya. Tentu tak semua teori dapat dipakai dan dipaksakan. Namun dengan metodologi yang jelas dan terarah akan sangat membantu analisis sastra itu sendiri. Semoga uraian sederhana ini dapat sedikit banyaknya membantu dalam penganalisaan kritik sastra terutama bagi mereka yang ingin menganalisa melalui pendekatan Marxisme.


Daftar Pustaka

Best, Steven and Douglas Kellner. 1991. Postmodern Theory: Critical Investigations. New York; The Guilford Press

Eagleton, Terry. 2002. Marxisme dan Kritik Sastra (terj). Yogyakarta; Sumbu

Kurniawan, Eko. 2006. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Jakarta; Gramedia

Prabowo, Hary. 2002. Perspektif Marxisme; Tan Malaka: Teori dan Praksis Menuju Republik. Yogyakarta; Jendela

Ritzer, George. 2003. Modern Sociological Theory (terj). Jakarta; Kencana

Takwin, Bagus. 2009. Akar-Akar Ideologi. Yogyakarta; Jala Sutra


Disampaikan dalam diskusi bersama Komunitas Ruangsempit di FBSS UNP, 1/12/09

Devy Kurnia Alamsyah adalah lulusan Sastra Inggris UNP, kini tengah menyelesaikan studi Magister Ilmu Susastra di FIB Universitas Indonesia
Tags: teori sastra
Prev: Fenomena 2012
Next: Ramayana: Beyond Good and Evil

Muhalhil bin Rabi`At Taghlabiy

Muhalhil bin Rabi`At Taghlabiy
Sejarah mengenai awal mula Syi'r Arab merupakan sejarah yang sulit untuk menentukan batasannya. Akan tetapi para ahli sejarah sastra Arab berpendapat bahwa timbulnya Syi'r Arab telah lebih dahulu daripada prosa. Syi'r Arab Jahiliyyah yang sampai kepada kita saat ini hanya sebagian Syi'r yang pengumpulannya pada perang Busus sekitar 150 tahun sebelum Islam. Itupun tidak merupakan keseluruhan Syi'r yang dihasilkan bangsa Arab di masa tersebut. Sehingga Syi'r Jahiliyyah yang sampai kepada kita sekarang ini hanyalah sebagian kecil saja dari Syi'r Jahiliyyah yang dapat diselamatkan dari kepunahan.
Syi'r Jahiliyyah yang sempat dihapal oleh generasi yang datang di masa Islam akhirnya dicatat dan dibukukan dalam catatan-catatan pribadi, kemudian diajarkan kepada generasi berikutnya. Kemudian dari hapalan-hapalan tersebut lalu dikumpulkan oleh para pengumpul Syi'r, seperti Hammad Arrowy, Al-Asmaiy, Khallaf bin Amru dan Abu Bakar Hawarizmy. Merekalah yang mengumpulkan Syi'r yang masih ada pada suku Badui Arab. Karena suku Badui sangat terkenal dalam kekuatan hapalannya untuk menjaga adat istiadat dan hasil karya nenek moyang mereka. Selanjutnya, hasil karya sastra Arab yang telah dibukukan, kelak akan dijadikan sandaran bahasa Arab oleh para ahli linguistik Arab, ahli balaqhah, dan juga para penyair Islam yang datang di masa sesudahnya.
Mengenai sejarah awal mula timbulnya Syi'r Arab Jahiliyyah, sosok Muhalhil bin Rabiah Attaghliby dianggap sebagai orang pertama yang menciptakan Syi'r Arab. Hal ini dikarenakan dari sekian banyak Syi'r Arab yang ditemukan hanyalah sampai pada zaman Muhalhil, dan dari sekian banyak Syi'r Muhalhil yang dapat diselamatkan hanya sekitar 30 bait saja.
Anggapan bahwa Muhalhil adalah perintis pertama dalam menciptakan Syi'r Arab, bukan berarti bahwa permulaan timbulnya Syi'r Arab itu dimulai dari zaman Muhalhil. Bahkan jauh sebelum zaman Muhalhil, Syi'r Arab telah ada, hanya saja Syi'r Arab kuno yang ada sebelum zaman Muhalhil telah lenyap. Pendapat ini dikuatkan oleh Umru' Al-Qais yang menyatakan bahwa sebelum zaman Muhalhil, bangsa Arab telah mengenal Syi'r.

عوجا على الطّلل المحيل لأننا # نبكى الدّيار كما بكى ابن خذام

Mari kita kembali (mengenang) kepada puing-puing yang runtuh, karena kami akan mengenang (menangisi) kembali kekasih yang telah pergi, seperti yang telah dilakukan oleh Ibnu Al-Huzama.

Bait syi'r di atas memberikan penerangan kepada kita bahwa segala apa yang dilakukan penyair yang ada pada masa Jahiliyyah hanyalah sebuah tiruan atau pengulangan dari yang telah dilakukan oleh penyair masa sebelumnya. Pendapat Umru' Al-Qais ini dikuatkan oleh pendapat Zuhair bin Abi Sulma dalam bait syi'rnya di bawah ini

ما ارانا نقول إلاّ معارا # او معاذا من لفظنا مكرورا

Apa yang kami ucapkan waktu ini, tidak lain hanyalah jiplakan (tiruan) atau ulangan dari ucapan syair di masa lampu.
Dari kutipan-kutipan syi'r di atas dapatlah kita ketahui bahwa sejak sebelum Masehi, bangsa Arab telah mengenal syi'r, hanya saja karya mereka telah lenyap dimakan waktu. Adapun Muhalhil hanyalah sebagai seorang penerus atau perintis syi'r Arab Jahiliyyah.
Sebenarnya Muhalhil bin Rabi' At Taqlabiy bernama lengkap ‘Adi bin Rabi’ah, hidup pada pertengahan abad kedua dia inilah yang pertama kali menyempurnakan syair Arab dalam bentuk kasidah dengan bermacam wazan atau timbangan dan qafiyah atau ritme.
• Muhalhil memprakarsai puisi dengan tujuan :
 An-Nasib (menyebut kerinduan tentang wanita dan keindahannya, mensifatkan kepergian dan kedatangannya)
 Al-Fakhr (memuji diri sendiri atau golongan yang membicarakan tentang kemuliaan-kemuliaan, asal-usul kabilah, kekayaan serta keturunan suatu kabilah)
 Al-Madh (memuji seseorang yang mempunyai kelebihan, seperti pemikiran yang kuat, keadilan seseorang, serta keberanian seseorang)
 Ar-Ratsa’ (menyebutkan orang yang telah meninggal, isi puisinya menampakkan kekagetan dan kesusahan atas meninggalnya orang)
 Al-Hija’ (membicarakan kejelekan seseorang atau kabilah dan mengingkari adanya kemuliaan)
 Al-I’tidzar (menolak tuduhan yang dilemparkan kepadanya dan meminta belas kasihan dengan mengemukakan alasan-alasan)
 Al-Washf (menjelaskan suatu keadaan menurut kedudukannya, untuk mendatangkan dalam fikiran, sehingga orang yang mendengar seakan melihat dan merasakannya)
 Hikmah dan Mutsul (puisi ringkas mengandung hukum yang dapat diterima oleh akal, atau pengalaman yang penuh dengan nasehat dan tidak berlebihan)
• Salah satu contoh sya'irnya :
أهاج قذاة عيني الإدكار؟
هدوءاً ، فالدموع لها انهمار
وصار الليل مشتملا علينا
كأن الليل ليس له نهار
وبت أراقب الجوزاء حتى
تقارب من أوائلها انحدار
أقلب مقلتي في إثر قوم
تباينت البلاد بهم فغاروا
وأبكى والنجوم مطلعات
كأن لم تحوها عني البحار
على من لو نعيت وكان حيــــــا
لقاد الخيل يحجيها الغبار
دعوتك يا كليب فلم تجبنى
وكيف يجيبنى البلد القفار
أجبني يا كليب خلاك ذم
لقد فجعت بفارسها نزار
سقاك الغيث إنك كنت غيثا
ويسرا حين يلتمس اليسار
كأني إذ نعى الناعي كليبا
تطاير بين جنبي الشرار
سأ لت الحي أين دفنتموه
فقا لوا لي : بسفح الحي دار
فدرت وقد عشى بصري عليه
كما دارت بشاربها العقار
ثوى فيه المكارم والنجار
ولست بخالع درعي وسيفي
إلى أن يخلع الليل النهار
ابت عيناي بعدك أن تكفا
كأن غضا القتاد لها شفار

الإشتقاق

الباب الأول
المقدمة
أ‌. الخلفية
تكون غلم العربية ثلاثة عشر علما, وهي قابلة للتفرع و الزيادة. وقد صارت هذه العلوم, منذ وضعها للآن , شغل علماء العربية الشاغل من عرب وأعاجم يدرسونها و يدرسونها, ويؤلفن فيها الكتب الممتعة النافعة منها ما انفرد بعلم من هذه العلوم, ومنها ما جمع أكثر من علم.
وظاهر من تعريفى النحو والصرف ومن مباحثهماظو أن هذين علمين مضعا للعصمة اللسان من الخطأ فى قراءة الكلام العربى, ولمعرفة ما فى بعض حروف الكلمات من زيادة, وحذف, وقلب, وأبدال, وتغير حركة أو سكون.
أما علم الإشتقاق الذى نحن بصدده, فهو شيئ أخر غير علمى النحو والصرف. إنه علم يزيد اللغة العربية ثروة و غنى, ويجعلها قادرة دائما على التجدد, والتقدم, ومياسرة, إرتفاء شأن الحياة, وإرتفاع الحضارة.
إنه العلو الذى تعرف به أصول الكلمات, وفروعها, و العلقات بينها, وطرق صوغ بعضها من بعض, ففيه من المباحث الجديرة برفعة اللغة وتقدمها. يعنى غشتقاق أفعال حديثة من الأسماء الأعيان التى لا تحصى والتى تزداد كل يوم بالنحتو أو بالتعريب, أو بالوضع, ومن هذه الأفعال يمكن إشتقاق جميع المشتقاتو
وتحت أسماء و أفعال حديثة لمسميات حديثة ثم تصريف هذه الأسماء و الأفعال بوجوه الإشتقاق الجائرة فى نظائرها من الألفاظ الأصلية و الإنتفاع بما فى وجوه القلب و الإبدال من ألفاظ مختلفة التراكب, متقاربة المعانى.
ب.أسئلة الوسئلة
أ. ما التعريف الإشتقاق ؟
ب. ما الإشتقاق الصغير ؟
ت. ما الإشتقاق الكبير ؟
ث. ما الإشتقاق الأكبر؟
ج. ما الإشتقاق الكبّار؟








الباب الثانى
البحث

أ‌. تعريف الاشتقاق
عرف علم الإشتقاق كثير من العلماء المتقدمين والمتأخرين وبينوا أقسامه واختلفوا فى تعريفه وفى بيان اقسامه بعض الإختلاف فانتقيت من مجموعها التعريف و التقسيم .
الإشتقاق لغة: اشتقاق الشيء: بيانه أو أخذه عن شيء . أمّا اصطلاحاً فهو عمليّة لغويّة تتمّ لتوليد لفظان تناسبهما لفظاً ومعنًى . وأما قال عبد الله أمين يقول أن الإشتقاق أخذ كلمة من كلمة أو أكثر مع تناسب بين المأخوذ منه فى اللفظ و المعنى جميعا.
وينقسم الإشتقاق إلى أربعة أقسام :
1. الإشتقاق الصغير
2. الإشتقاق الكبير
3. الإشتقاق الأكبر
4. الإشتقاق الكبار


ب‌. الاشتقاق الصغير
1. التعريف
الاشتقاق الصغير (الأصغر ، العامّ ، الصرفي) ، هوأخذ كلمة من أخرى بتغيير في الصيغة مع اشتراكهما في المعنى واتفاقهما في الأحرف الأصل وترتيبها. المثال:
 اسم : ضارب
 اسم المفعول: مضروب
 الفعل : تضارب. وغيرها
من المصدر"الضرب" على رأي البصريين، أو من فعل "ضرب" على رأي الكوفيين.
2. تقسيم اللغات بالنسبة إليه
أ‌. اللغات الفاصلة (isolantes) وهي التي تحافظ فيها الكلمة المفردة على شكل واحد مهما اختلفات في الجملة. ومنها اللغة الصينية، فإذا كان الضمير "أنا" في العربية يصبح "ت" في نحو: "أكلت"، و " نى " في نحو "كافأني"، و "ي" في نحو: " كتابي " فإن الصيني يقول : " أكل أنا، كافأ أنا، كتاب أنا ". اى إن الضمير في الصينية لايتغير من حالة الرفع إلى النصب على الجر بالإضافة.
ب‌. اللغات اللاصقة (agllumatives) وهي التي تضيف إلى أوائل الكلمات الأصلية فيها صدورا أو سوابق prefixes ، وإلى أو اخرها كواسع أو الواحق suffixes ، وقد احتفظت اللغة الإنجلزية ببعض خصائص هذه الفئة من الغات. فهي تنضيف مثلا إلى جدر from، السوابق الآتية:de,per,in,con,re، وغيرها، فتغير المعنى الأول ، فتغير معنى، ولكن بدون أن يطرأ تغيرما على الجدر الأصيل مثال على اللغات اللاصفة اللغة العربية.
ت‌. اللغة المتصرفة (inflexionelle) وهي التي نستطع أخذ صيغ مختلفة من المادة الواحدة منها، للدلالة على المعاني المختلفةومنها اللغات الهندو – اوروبية والسامية.
3. موقف الباحثين من أصله
وقد أورد ابن الأنبري هذه الحجج مفصّلة في كتابه " الإنصاف في مسائل الخلاف بين النحوين البصريين والكفيين ".
تتلخص حجج البصريين بما يلي:
أ‌. إن المصدر يدل على زمان مطلق. أما الفعل يدل على زمان معين وكما أن المطلق أصل للمقيد، فكذلك المصدر أصل للفعل.
ب‌. إن المصدر اسم، الإسم يقوم بنفسه، ويستغنى عن الفعل، ولكن الفعل لايقوم بنفسه، بل يفتقر إلى الإسم، وما يمتغى بنفسه، ويفتقر إلى غيره أولى بأيكون أصلا مما لا يقوم بنفسه ويفتقرإلى غيره.
ت‌. أن المصدر إنّما سمى كذلك المصدر الفعل عنه.
ث‌. أن المصدر يدلّ على شيء واحد وهو الحديث، اما الفعل يدل بصيغته على شيئين الحدث الزمان المحصّل وكما أن الواحد أصل الإثنين فكذلك المصدر أصل الفعل.
ج‌. إن المصدر له مثال واحد نحو " الضرب "، "الفعل"، والفعل له أمثالة، كما أن الذهب نوع واحد وما يوحد منه أنواع وصور مختلفة.
ح‌. إن الفعل يدل بصيغته على ما يدل عليه المصدر. فالفعل "ضرب" الذى هو المصدر ليس العكس صحيحا. لذلك كان المصدر أصلا و الفعل فرعا, لأن الفرع لابد أن يكون فيه الأصل.
خ‌. لو كان المصدر مشتقاق من الفعل لكان يحب أن يجري على سنن فى القياس, ولم يختلف أسماء الفاعلين و المفعولين, ولوجب أن يدل على ما فى الفعل من الحدث و الزمان, على معنى ثالثظو كما دلت أسماء الفاعلين و المفعولين على الحدث وذات الفعال و المفعول به فلما لم يكن المصدر كذلك دل على أنه ليس مشتقاق من الفعل.
وأما حجج الكفيين فاهمها ما يلى :
أ‌. إن المصدر يصح لصحة ويعتل لا عتلا له, نحو : إقام قواما قياما
1. إن الفعل يعمل فى المصدر, نحو : ضربت, ضربا. وبما أن رتبة العاملقبل رتبة المعمول, وجب أن يكون المصدر فرعا على الفعل.
2. غن المصدر يدكر تأكيدا للفعل, نحو : ضربت – ضرباز ورتبة المؤكد قبل رتبة المؤكد.
3. إن ثمة أفعالا لا مصادر لها. وهي : نعم, بئس, عسى, ليس, فعلا التعجب, وحبدا, فلو كان المصدر أصلا لما خلا من هذه الأفعال, لإستعمالة وجود الفرع من غير أصل.
4. إن المصدر لا يتصور مناه ما لم يكن فعل فاعل, والفاعل وضح له "فعل" فبا بغي أن يكون الفعل الذى يعرف به المصدر أصلا للمصدر.
ولعل أقرب الذاهب إلى الحقيقة, بالنسبة إلى أصل الإشتقاق, مذهب فؤاد ترزى الذى يتلخص فى
1. أن أصل الإشتقاق فى العربية ليس واحدا, فقد إشتق العرب من الإفعال, و الأسماء ( الجامد منها و المشتق), الحرف, ولكن بأقدار تقل حسب ترتيبها هذا. فأكثر ما اشتق منه الأفعال, ثم الأسماء فالحروف
2. أن ما ندعوة المشتقاق – بما فيها فى المصدر- قد إشتق من الأفعال بصورة عامة.
3. أن هذه الأفعال. بدورها, قد تكون أصلية مترجلة, وقد تكون إشتقت من أسماء جامدة من أسماء الأصوات الحروف.

ت‌. الإشتقاق الكبير
1. التعريف
الإشتقاق الكبير يسمى القلب اللغوى يعنى أن يكون بين كلمتين تاسب فى اللفظ و المعنى دون ترتيب الحروف. وفكرة التقالب تعود إلى خليل بن أحمد الفراهيدى, الذى حاول بعبقريته الفذة, حصر كل المستعمل من كلمات اللغة العربية, معتمدا على تقليب اللفظ إلى كل الإحتمالات الممكنة. ومبنيا المستعمل من هذه التقاليب من غير المستعمل.
وقال الدكتور صبيحى (1960 : 186) يقول أن الإشتقاق الكبير فهو عبارة عن إرتباط مطلق غير مقيد بترتيب بين مجموعات ثلاثية صوتية ترجع تقاليبها الستة وما يتصرف من كل منها إلى مدلول واحد مهما يتغاير ترتيبها الصوتى.
ويبدو لنا أن الإشتقاق الكبير تقضى بالتجوز فى التعبير والإكثار من إخراج الكلام عن ظاهره, والحرص على تلمس الألفاظ العامة, بل الشديدة العمومظو لكى تصلح للربط بين صور متعددة ربما تتلقى فى الأشياء ولكنها ايضا تتبين فى أشياء.
2. المثال
أ‌. الثلاثى المضاعف
فى الذال و الباء معنى الغلب و الفواق. والذب : الطرد, وذبا عنه يذب ذبا, وفلان يذب عن حريمه ذبا أي يدفع عنهم. وبذ القوم يبذهم بذا سبقهم و غلبهم, وكل غالب باذ, و العرب تقول : بذ فلان فلانا يبذه إذا ماعلاه, وفاقه فى حسن أو عمل كائنا ماكان : فالبذ فيه معننى الغلب والفواق, وال1ب كذلك, لأن الذى يذب إنسانا أو حيوانا أي يطرده : يغلب و يفوقه فى القوة, بطرده إياه.
ب‌. الثلاثى غير المضاعف
فى الباء والقاف والراء معنى الشق والإحاطة, وقد ورد من هذه الأحرف الثلاثة الكلمات التى يمكن أن تكون منها بالتقديم والتأخير وهي (ق,ر,ب),(ب,ق,ر), (ق,ر,ب), (ر,ق,ب),(ر,ب,ق) وفيها جميعا معنى الشق والإحاطة, وهاك معانيها عن اللسان.
(ق,ب,ر) : القبر, مدفن الإنسان وجمعه قبور, وقبره, وقبره يقبره: دفنه وأقبره : جعله قبرا , وأقبره :اذا أمرا إنسانا بحفر قبر. وفى هذه الصيغة معنى الحفر أى الشق. وفى القبر إحاطة بالميت.
(ب,ر,ق) : البرق الذى يلمع فى الغيم وجمعه بروق, وبرقت السماء تبرق برقا وأبرقت: جاءت ببرق, ومرت بنا الليلة سحلبة براقة وبارقة : اى سحابة ذات برق. وأبرق القوم: دخلوا فى البرق, وأبرقوا البرق : رأوه ولا شك أن البرق يشق الغيم وفى الغيم والظلاق إحاطة بالبرق.
(ر,ق,ب) : الرقبة : العنق وقيل ك أعلاها وقيل : مؤخر أصل العنق ورقبه طرح الحبل فى الرقبة إحاطة بها.
(ر,ب,ق): الربقة, والربقة والربق بالكسر كل ذلك الحبل و الحلقة تشد بها الغنم الضغار لئلا ترضعو والجمع أرباق, وبارق وربق. الربقة فى الأصل: عروة فى حبل تجعل فى عنق البهيمة أو يدها تمسكها: وربقت الشيئ وارتبقته لنفسى كربطة وارتبطه, وهو من الربقة, ولا شك أن فى الربقة الإحاطة.
(ب,ق,ر): اصل البقر : الشق و الفتح والتوسعة , وبقرت الشيئ بقرا: فتحته ووسعته, وفى حديث حذيفة ك فما بال هؤلاء الذين يبقرون بيوتنا أى يفتحونها و يوسعونها و الفتح. الشق فأنت ترى معانى هذه الصيغ الست تجتمع كلها فى المعنى الشق والإحاطة.
ت‌. الرباعى المضاعف
الففظ السباسب و البسابس بمعنى القفار وأحدها سبسب و بسبس. الشنشنة و النشنشة : حركة القرطاس والثوب الجديد . القهقهة فى السير مثل القهقهة مقلوب منه, القلقلة : شدة اضطراب الشيئ وتحركه, وهو يتقلقل ويتلقلق . قرب صبصاب : شديد و صبصباب : مثل البصباص . وانقرب : سير الليل لورد الغد. كعبر الشيئ قطعه و بعكر الشيئ قطعه ككعبر. خذ عبه بالسيف وبخذعه : ضربه.

3. موقف الباحثين منه
وقف اللغويون والباحثون من مذهب ابن جينى ثلاثة مزاقف مختلفة :
أ‌. الفريق الأول, هم بالغون فيه, ومن هذا الفريق الزجاج الذي كان يزعم, أن كل لفظين اتفقا ببعض الحرول, وان نقصت حروف إحداهما عن حروف الأخرى, فإن إحداهما مشتقة من الأخرى. فتقول: " الجل مشتق من الارجل, والثور إنما سمي ثورا لأنه يثير الأرض, والثوب إنما سمي ثوبا لأنه ثاب (أى رجع) لباسا بعد أن كان غزالا.
ب‌. الفريق الثانى, أنكر هذا النوع من الإشتقاق كالسيوطى الذى يقول وهذا مما ابتدعه الإمام أبو الفتح ابن جينى, كان شيخه أبو على الفاريسى يانس به يسيرا, ولسي معتمدا فى اللغة, ولا يصح أن يستبط به إشتقاق فى لغة العرب, وأنما جعله ابو الفتح بيانا لقوة ساعده ورد المختلفات إلى قدر مشترك. مع إعترافه وعلمه بانه ليس هو موضوع تلك الصيغ, وأن تراكيبها تفيدا أجناسا من المعانى معايرة للقدرالمشترك, وسبب إهمال العرب وعدم التفات المتقدمين إلى معانية أن الحروف قليلة وأنواع المعانى المتفاهمة لا تكاد تتناهى فخوصوا كل تركيب بنوع منها.
ت‌. الفريق الثالث, وفق موقفا وسطا بين الفريقين , فمن ناحية تحفظ على بعض الأمثلة التى أوردها ابن جينى فى هذا الباب. وائهمة بالعسف أحيانا, لكنه ذهب على أنه مع هذا التحفظ. ومع هذا الحذر من القوع فى التلف, يظل بحث الإشتقاق الكبير يؤتى ثمرة إلى اليوم. حتى ليكون القول: إن لغوى العرب لم يعرفوا إنتاجا أعطم منه.

ث‌. الاشتقاق الأكبر (الإبدال)
أ‌. تعريفه
إن كل تكلف ارتكبه اللغويون في باب الاشتقاق بقسميه السابقين: الأصغر والكبير، لا يعد شيئا إذا قيس بما اضطروا إلى ارتكابه لدى كل خطوة فيما سموه بالإشتقاق الأكبر.
الاشتقاق الأكبر يسمى بالإبدال أيضا، وهو ما ارتبطت فيه بعض "مجموعات ثلاثية من الأصوات ببعض المعاني ارتباطا غير مقيد بنسف الأصوات، بل بنوعها العام، وترتيبها فحسب، فتدل كل مجموعة على المعنى لمرتبطة به متى وردت مرتبة حسب ترتيبها في الأصل "مثل" امتقع لونه، وأسود حالك وحانك، وهدل الحمام وهدر، وكشط وقشط، والصراط والسراط، ونقع ونهق، وازواهز.
واشتقاق الأكبر الذى أولع به ابن جبنى، توسع فيه بعد أن فطن له الخليل وأبو علي الفارسي، إلا أن جنى توسع فيه وتحليل له، حتى اعتبر أن سلم، مهملة، لكنه يستعمل بدلا من نسمت الريح، التقارب النون والام على أنه لم يدع ذلك في جميع اللغة، كما ندعى للاشتقاق الأصغر فلا حق إذن للسيوطي في الجملة على ابن جنى بسبب الإشتقاق الأكبر ويرى أن العربأهملته، وابن جنى لم يعمم. فهو يرى: أن جنب، وجبذ، ليس احداهما مقلوب عن صاحبه، وذلك أنهما يتضمن تصرفا واحدا.... فإن جعلت أحدهما أصلا لصاحبه فسد ذلك، ولم يكن أحدهما أسعد بهذه الحال من الاخر.
ب‌. قسماه
الإبدال قسمان:
1. الإبدال الصرفي
وهو أن تقيم مكان حروف معينة، حروفا أخرى، بغية تسير اللفظ وتسهيله، أو الوصول بالكلمة إلى الهيئة التي يشيع استعمالها، كالإبدال الواو ألفا في نحو صام أصلها صوم. أو كالإبدال الطاء من التاء في اصطنع وأصلها اصتنع. وقد اهتم الصرفيون اهتاما كبيرا بهذا النوع من الإبدال، فاختلفوا في عدد حروفه. فهي عند بعضهم تسعة أحرف يجمعها قولك (هدأت موطيا) وهي عند سيبويه أحد عشر حرفا، وعند غيره اثنا عشر حرفا، يجمعها قولك (طال يوم أنجدته)، أو اربعة عشر، أو اثنتا وعشرون.
2. الإبدال اللغوي
هو أوسع من الإبدال الصرفي، بحيث يشمل حروفا لا يشملها الإبدال الأول. وقد اختلف اللغويون في مفهوم هذا الإبدال، فوسع بعضهم دائرته، فقال: إن هذا النوع من الإبدال يشمل جميع حروف الهجاء، وضيقها اخرون فالشترطوا أن تكون الحروف المتعاقبة متقاربة الخروج، وأن تكون إحدى اللفظتين أصلا للأخرى لا لغة في الثانية. وبما أنه يتعذر اليوم التمييز بين ما هو أصل وما هو فرع في مثل نقع نهق، سقر وصقر، ظن ودنّ، على الرغم مما وضعه اللغويون والنحاة من قواعد لهذا التمييز، فإن فؤاد ترزي يرى أن الإبدال الحقيقي يجب أن تتوافر فيه الشروط التالية:
1- قرب مخارج الحروف المتغاقبة
2- الترادف أو شبهه
3- وحدة القبيلة التي يدور في لسانها اللفطان المبدلان.

ج. صلته بالإشتقاق
اختلف الباحثون في صلة الإبدال اللغوي بالإشتقاق، إذا عتبره بعضهم أحد أنواع الإشتقاق وسماه "(الإشتقاق الكبير) أو (الأكبر)"، بينما ذهب آخرون، ومنهم فؤاد ترزي، إلى أن الإبدال يتنافى وطبيعتة الإشتقاق، وحجته:
1- أن الإشتقاق، في أساسه، لا يهدف إلى الترادف ولا يؤول إليه.
2- أن ابن جني، الذى توسع في مفهوم الإشتقاق إلى حد أدخل فيه القلب اللغوي، لم يعتبر الإبدال ضربا منه، وكذالك فعل السيوطي وغيرهما. وعنده أن الإبدال ليس سوى ظاهرة صوتية تقوم على استبدال بعض الحروف ببعضها الاخر، وتعود إلى أسباب عدة منها:
أ‌- التطور الصوتي في الحرف المبدل، وأكثر ما يكون ذلك في الحروف المتقاربة المخرج كالسين، والزاي في المثل (الشاسب) و (الشازب)
ب‌- الخطأ في السمع في نحو (الخطيط) في (القطيط)
ت‌- التصحيف الناتج عن قلة الإعجام قديما نحو: تقيّأت المرءة وتفيّأت ( تثنّت على بعلها وتكسّرت له تدلّلاّ وألقت نفسها عليه)
ج‌. الاشتقاق الكبّار أو النحت
أ‌. تعريفه
النحت في المعجم الوسيط هو من كلمة نحت-ينحت-نحتا-ونحيتا: زحر. ويقال: نحت الخشب ونحت الحجر. ويقال: نحته السفر: أنضاه وأرقّه. ونحت فلان على الكرم: طبع عليه. والنحت لغة هو النشر والبري والقطع. وفي التنزيل العزيز: ((وكانوا ينحتون من الجبال بيوتا آمنين)). ونحت الكلمة: أخذها وركّبها من كلمتين أو كلمات. يقال: ((بسمل))، إذا قال: ((بسم الله الرحمن الرحيم)) و ((حوقل)) أو ((حولق))، إذا قال: ((لاحول ولا قوّة إلا بالله)).
النحت من ضروب الاشتقاق في اللغة وهو أن تعمد إلى كلمتبن أو جملة فتنزع من مجموع حرف كلماتها، كلمة فذّة تدل على ما كانت تدل عليه الجملة نفسها.
النحت في الاصطلاح علماء الاشتقاق هو أخذ كلمة من كلمتين أو أكثر مع المناسبة بين المأخوذ، والمأخوذ منه في اللفظ والمعنى معا: بأن تعمد إلى كلمتين أو أكثر، وتضم مابقي من أحرف كل كلمة إلى الأخرى وتؤلف منها جميعا كلمة واحدة، فيها بعض أحرف الكلمتين أو الأكثر وما تدلان عليه من معان.
النحت (coinage) في المعجم علم اللغة النظري هو إيجاد كلمة جديدة اصطناعيا ومن قصد للوفاء بغرض محدد.
ويعرّف الدكتور نهاد الموسى النحت بقوله: هو بناء كلمة جديدة من كلمتين أو أكثر أو من جملة، بحيث تكون الكلمتان أو الكلمات متباينتين في المعنى والصورة، وبحيث تكون الكلمة الجديدة آخذة منهما جميعاً بحظ في اللّفظ، دالة عليهما جميعاً في المعنى.
النحت عند الخليل: أخذ كلمة من كلمتين متعاقبتين، واشتقاق فعل منها. ويعتبر الخليل بن أحمد (ت 175هـ) هو أوّل من أكتشف ظاهرة النحت في اللغة العربية حين قال: إن العين لا تأتلف مع الحاء في كلمة واحدة لقرب مخرجيهما، إلاّ أن يُشتَق فَّعِلٌ من جمع بين كلمتين.
أنشد الخليل في كتابه "الصاحبي" في باب النحت:
أقول لها ودمع العين جارٍ ألم تحزنكِ حَيعَلةُ المنادى
فهذه كلمة جمعت من (حيّ) ومن (على)، نقول منه: حيعل، يحيعل، حيعلة.
ب‌. قسماه
ينقسم النحت في اللغة إلى أربعة أقسام:
1- النحت الفعلى
وهو أن تنحت من الجملة فعلا، يدل على النطق بها، أو على حدوث مضمونها، ومن أمثلة الحالة الأولى: ((جعفل))، إذا قال لآخر: جعلت فداءك، و((بسمل))، إذ قال: بسم الله الرحمن الرحيم. ومن أمثلة الحالة الثانية: بعثر أي بعث وأثار. ويلاحظ أن كل أفعال هذا النوع من النحت رباعية مجرَّدة.
2- النحت الوصفى
وهو أن تنحت من كلمة واحدة، تدل على صفة بمعناها أو بأشدّ منه، مثل: ((ضِبَطر)) للرجل الشديد، من : ((ضبط)) و ((ضبر)) وفي: ((ضبط)) معناه الشيء إذا حفظه بالحزم و ((ضبر)) يعنى اتصلت عظامه واكتز لحمه، فالضبطر هو القوي المتصل العظام والمكتنز اللحم. و((صَهصَلِق)) من ((الصهيل والصَّلق))، الصهصلق معناه الحاد الصوت وهو مأخوذ من الصهيل وهو صوت الحصان، والصلق وهو الصوت الشديد.

3- النحت الاسمى
وهو أن تنحت من كلمتين اسما، مثل: ((جلمود)) من: ((جمُد)) و ((جلُد)). ومثل: ((حَبقُر)) للبرد، وأصله: حبُّ قُر. وعقابيل من عقبى وعلّة.
4- النحت النسبى
وهو أن تنسب شيئا أو شخضا إلى بلدتى: ((طبرستان)) و ((خوارزم)) مثلا، فتنحت من اسميها اسما واحدا، على صيغة اسم المنسوب، فتقول: ((طبر خزى)) ونحو ذلك.
الكلمات المنحوتة المستحدثة كثيرة، منها: مكزماني (مكان وزمان)، زمكاني (زمان ومكان)، درعمي (نسبة إلى دار العلوم)، أنفمي (للصوت الذى يخرج من الأنف والفم معا)، وقبتاريخ (قبل وتاريخ) prehistoire الخ. وقد كثرت الحاجة إلى النحت في العصر الحديث، وبخاصة عندما بدأ العرب بنقل العلوم إلى العربية، مما دفع مجمع اللغة العربية إلى إصدار قرار يجيز النحت ((عندما تلجيء إليه الضرورة العلمية)).
ج. أهمية طرق النحت
ومن أهم طرق النحت ما يلى:
1- إلصاق الكلمة بالأخرى، دون تغيير شيء بالحروف والحركات نحو: برمائى واللاأدرية.
2- تغيير بعض الحركات دون الحروف نحو: شقحطب (من شق حطب).
3- الإبقاء إحدى الكلمتين كما هي، واختزال الأخرى نحو: مُشَلوَز (منحوت من المشمش واللوز) ومُحَبرَم (منحوت من حب الرمان).
4- إحداث اختزال متساو في الكلمتين، فلا يدخل في الكلمة المنحوتة إلا حرفان من كل منهما نحو: تَعَبشَم.
5- إ حداث اختزال غير متساو في الكلمتين نحو: سَبحَلَ.
6- حذف بعض الكلمات حذفا تامّا دون أن تترك في الكلمة المنحوتة أى أثر نحو: طلبق (أي أطال الله بقاءك) وهيلل (أي: لا إله إلا الله). فإن كلمة "الله" في الأولى، وكلمتي "لا" و"إلا" في الثانية، قد حذفت تماما، ولم يبق لها أي أثر في الكلمتين المنحوتتين المذكورتين.

د. موقف الباحثين من النحت
انقسم الباحثون في مسألة نسبة النحت إلى الاشتقاق، إلى ثلاثة أفرقاء:
1- فريق يؤكّد: أن مراعاة معنى الاشتقاق تنصر جعل النحت نوعا منه: ففي كل منهما توليد شيء من شيء، وفي كل منهما فرع وأصل.
2- فريق ثان يذهب إلى أن النحت غريب عن نظام اللغة الاشتقاقي، لذلك لا يصح أن يعدّ قسما من الاشتقاق فيها.
3- فريق ثالث توسّط فاعتبر النحت "من قبيل الاشتقاق وليس اشتقاقا بالفعل".

هـ. الغرض من النحت:
1- تيسير التعبير بالاختصار والإيجاز. فالكلمتان أو الجملة تصير كلمة واحدة بفضل النحت. يقول ابن فارس: "العرب تنحت من كلمتين كلمة واحدة، وهو جنس من الاختصار". وذلك ((رجل عبشمي)) منسوب إلى اسمين هما عبد وشمس.
2- الاكتثار من الكلمات باشتقاق كلمات حديثة، لمعان حديثة، ليس لها ألفاظ في اللغة، ولا تفي كلمة من الكلمات المنحوت منها بمعناها.

و. أثر ظاهرة النحت على اللغة في العصر الحديث
يقول الخليل في لسان العرب: ((إن العرب تلجأ للنحت، إذا أكثر استعمالهم للكلمتين ضموا بعض حروف إحداهما إلى بعض حروف الأخرى)) ومع احتياجهم إليه لم يكن كثيرا، لأن العلوم لم تكن منتشرة، كما هي اليوم وبالتالى كانت متطلبات المصطلحات محدودة.
وقد نقل ابن جنى عن أبي عثمان المازى أن ((ما قيس على كلام العرب فهو من كلام العرب)). وإذا كان ابن فارس قد توسع في موضع النحت وجملة في أكثر الكلمات الرباعية والخماسية الأصول قياسا، فإننا ينبغي أن تكون منه على حذر في استخدامه لترجمة المصطلحات على طريقته، ومن ثم فإنه يحتاج إلى ذوق سليم فكثيرا ما تكون ترجمة الكلمة الأعجمية بكلمتين عربيتين أصلح وأدل على المعنى من بحث الكلمة العربية الواحدة.
ولذلك كان موقف مجمع اللغة العربية حكيما، حين وافق في جلسته المنعقدة في الحادى والعشرين من فبراير سنة ثمان وأربعين وتسعمائة وألف على جواز النحت عندما تلجيء إليه الضرورة.

الخلاصة
الاشتقاق الأكبر يسمى بالإبدال أيضا، وهو ما ارتبطت فيه بعض "مجموعات ثلاثية من الأصوات ببعض المعاني ارتباطا غير مقيد بنسف الأصوات، بل بنوعها العام، وترتيبها فحسب، فتدل كل مجموعة على المعنى لمرتبطة به متى وردت مرتبة حسب ترتيبها في الأصل.
الاشتقاق الأكبر نوعان هما الإبدال الصرفي والإبدال اللغوي.
الأمثلة:
الإبدال الصرفي الإبدال اللغوي
قواعد الصرف الإبدال المبدل
الإبدال الواو ألفا صون صان نعق نهق
الإبدال الطاء من التاء اصتنع اصطنع طنّ دنّ

النحت في الاصطلاح علماء الاشتقاق هو أخذ كلمة من كلمتين أو أكثر مع المناسبة بين المأخوذ، والمأخوذ منه في اللفظ والمعنى معا.
النحت أربعة أنواع منها: النحت الفعلى والوصفي والاسمي والنسبي.



الأمثلة:
النحت الفعلى النحت الوصفى النحت الاسمي النحت النسبي
النحت المنحوت النحت المنحوت النحت المنحوت النحت المنحوت
حمدل الحمد لله ضبطر ضبط وضبر جلمود جلد وجلمد عبشمي عبد وشمس












الباب الثالث
الإختتام

الخلاصة
الإشتقتقاق هوعمليّة لغويّة تتمّ لتوليد لفظان تناسبهما لفظاً ومعنًى . وأما قال عبد الله أمين يقول أن الإشتقاق أخذ كلمة من كلمة أو أكثر مع تناسب بين المأخوذ منه فى اللفظ و المعنى جميعا.
الاشتقاق الصغير (الأصغر ، العامّ ، الصرفي) ، هوأخذ كلمة من أخرى بتغيير في الصيغة مع اشتراكهما في المعنى واتفاقهما في الأحرف الأصل وترتيبها, المثل: لفظ "ضرب"يصير ضارب فى أسم الفاعل و مضروب فى إسم المفعول
الإشتقاق الكبير فهو عبارة عن إرتباط مطلق غير مقيد بترتيب بين مجموعات ثلاثية صوتية ترجع تقاليبها الستة وما يتصرف من كل منها إلى مدلول واحد مهما يتغاير ترتيبها الصوتى. المثال فى الباء والقاف والراء معنى الشق والإحاطة, وقد ورد من هذه الأحرف الثلاثة الكلمات التى يمكن أن تكون منهابالتقديم والتأخير وهي (ق,ر,ب),(ب,ق,ر), (ق,ر,ب), (ر,ق,ب),(ر,ب,ق) وفيها جميعا معنى الشق والإحاطة, وهاك معانيها عن اللسان.



المراجع

الدكتور أحمد عبد الرحمان الحمادى, عوامل التطور اللغوى, لبنان, 1983
الدكتور الصالحى الصالح, دراسات فى فقه اللغة, داتر العلم للملايين, بيروت, 1960
الدكتور أميل بديع يعقوب, فقه اللغة العربية وخصائصها, دار الثقافة الإسلامية, 1982
عبد الله أمين, الإشتقاق, الناشر مكتبة الخانجىظو القاهرة
ولدنا وركادنتا, فقه اللغة, 2010

kondisi MAROKO saat islam masuk

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Afrika Utara yang terdiri dari berbagai negara, mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Di antara negara-negara tersebut adalah Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Libya dan Maroko. Dari negara-negara tersebut yang akan dibincangkan dalam tulisan ini adalah tentang negara Maroko yang terfokus pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Akibatnya masyarakat Maroko menjadi tertindas ditambah dengan melemahnya kondisi perekonomian Maroko karena perekonomian dikuasai oleh pedagang-pedagang Barat. Penguasa Barat/Eropa memperlakukan masyarakat Maroko secara tidak baik, disamping tanah mereka juga dirampas yang berakibat hilangnya mata pencaharian masyarakat. Kemudian bangsa Eropa juga menukar sistem tanaman yang sebelumnya dengan bibit-bibit baru, sehingga petani Maroko tetap menjadi petani yang selalu merugi waktu panen. Efek yang lain atas kehadiran Eropa di Maroko adalah hilangnya kekuasaan para sufi di wilayah-wilayah kecil, sehingga melahirkan kesadaran nasional masyarakat Maroko.
Kesadaran nasional tersebut mengantarkan lahirnya gerakan-gerakan perlawanan dari masyarakat Maroko dan para pemimpin sufi untuk menentang Perancis. Disamping itu, kebijakan pemerintah Perancis mendirikan industri-industri di perkotaan telah menarik simpatik masyarakat pedesaan untuk datang ke perkotaan yang semakin hari dapat mengubah pola fikir mereka. Hasilnya secara perlahan kesadaran masyarakat akan penjajah semakin meningkat yang berujung dengan perlawan masyarakat Maroko terhadap para penjajah. Dengan hasil terciptanya kemerdekaan Maroko pada tahun 1956M.





B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana letak geografis Maroko?
2) Bagaimana Sejarah Maroko?
3) Bagaimana keadaan politik, ekonomi dan sosial ?
4) Bagaimana islam Di Maroko?


C. Tujuan
1) Untuk mengetahui letak geografi Maroko.
2) Untuk mengetahui Sejarah Maroko
3) Untuk mengetahui keadaan politik, ekonomi dan sosial .
4) Untuk mengetahui Islam Di Maroko.











BAB II
PEMBAHASAN
A. Letak Geografi Maroko
Rabat, populasi 1,2 juta jiwa (perkiraan 2005), adalah ibu kota Maroko. Kota ini terletak di Samudra Atlantik di mulut sungai Bou Regreg pada koordinat 34°02' LU 6°51' BB. Pengendapan lumpur telah menyebabkan peran kota ini sebagai pelabuhan semakin berkurang. Meskipun begitu, Rabat dan kota dekatnya Salé masih mempunyai industri-industri tekstil, pemrosesan makanan dan konstruksi yang masih cukup penting. Selain itu, pariwisata dan kehadiran seluruh kedutaan besar di Maroko membuatnya kota terpenting kedua setelah Casablanca.
Sudut Jalan kota Rabat,.telah ada pemukiman di daerah ini sejak zaman kuno. Rabat menjadi benteng Muslim sekitar tahun 700. Sebelum kemerdekaan Maroko pada 1956, Rabat adalah ibu kota protektorat Perancis sejak dijajah oleh Perancis pada 1912. Universitas Muhammad V terletak di kota ini.

B. Sejarah Tentang Maroko
Orang Arab menyebutnya Al-Mamlaka Al-Maghribiya atau Kerajaan Barat. Para ahli sejarah dan geografi Muslim di era kekhalifahan Islam menjulukinya Al-Maghrib Al-Aqsa. Sedangkan orang Turki memanggilnya Fez. Orang Persia mengenalnya Marrakech (Tanah Tuhan). Beragam nama itu disandang negara yang kini dikenal dengan nama Maroko.
Maroko adalah negeri yang memiliki peran penting dalam sejarah penyebaran agama Islam di wilayah Afrika Utara. Yang tak kalah pentingnya, negeri berjuluk 'Tanah Tuhan' itu merupakan pintu gerbang masuknya Islam ke Spanyol, Eropa. Dari Maroko inilah Panglima tentara Muslim, Tariq bin Ziyad menaklukan Andalusia dan mengibarkan bendera Islam di daratan Eropa.
Syahdan, Kerajaan Islam di Afrika Utara itu sudah mulai didiami manusia sejak zaman Neolitik - kurang lebih 8000 tahun SM. Salah satu bukti peninggalan Neolitik di wilayah itu ditemukannya budaya Kapsian. Pada masa klasik, wilayah Maroko dikenal dengan sebutan Mauretania. Nama itu sama sekali tak berhubungan dengan Mauritania - negara di era modern.


Akhir periode klasik, Maroko sempat dikuasai Kekaisaran Romawi. Namun, di abad kelima, Maroko beralih ke tangan Vandals, Visigoth, dan Imperium Bizantium - seiring pudarnya kekuasaan Romawi. Pada masa itu, wilayah pegunungan tinggi yag menjadi bagian Maroko modern masih belum ditundukkan dan masih berada di tangah bangsa Barbar.
Maroko memasuki babak baru setelah Islam menancapkan benderanya di wilayah Afrika Utara. Ajaran Islam tiba di Maroko pada 683 M. Adalah pasukan yang dipimpin Uqba Ibnu Nafi -- seorang jenderal dari Dinasti Umayyah -- yang kali pertama membawa ajaran Islam ke wilayah itu. Islam benar-benar menguasai Maroko pada tahun 670 M.
Namun, ada pula yang menyebutkan ekspansi Islam ke Maroko dimulai ketika negeri itu ditaklukan pasukan pimpinan Musa bin Nusair pada masa Al-Walid I bin Abdul Malik (705-715) - khalifah keenam Dinasti Umayyah. Pada saat itu, pasukan tentara Islam menyebut wilayah itu dengan nama Maghreb Al-Aqsa atau Far West.
Setelah Maroko jatuh ke dalam genggaman Dinasti Umayyah, Musa bin Nusair mengangkat Tariq bin Ziyad untuk memerintah Maroko. Dari wilayah itulah, Tariq bin Ziyad menyeberangi selat antara Maroko dan Eropa menuju ke gunung yang dikenal dengan Jabal Tariq (Gibraltar). Maroko menjadi wilayah penyangga bagi umat Islam untuk melakukan ekspansi ke daratan Spanyol, Eropa.
Tak mudah bagi pasukan tentara Muslim untuk menundukkan negeri di kawasan Afrika Utara itu. Tak kurang dari 53 tahun waktu yang dilalui para tentara Muslim untuk menjadikan Maroko bagian dari kekuasaan Islam. Butuh waktu satu abad bagi umat Islam untuk berasimilasi dengan bangsa Barbar yang mendiami wilayah Maroko.
Maroko modern pada abad ke-7 M merupakan sebuah wilayah Barbar yang dipengaruhi Arab. Bangsa Arab yang datang ke Maroko membawa adat, kebudayaan dan ajaran Islam. Sejak itu, bangsa Barbar pun banyak yang memeluk ajaran Islam. Ketika kekuasaan Dinasti Umayyah digulingkan Dinasti Abbasiyah, Maroko pun menjadi wilayah kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
Perubahan kekuasaan itu memicu munculnya dinasti-dinasti kecil di wilayah itu. Pada 172 H/789 M, berdirilah Kerajaan Idrisid dinasti Syiah pertama - yang didirikan Idris I bin Abdullah seorang keturunan Ali bin Abi Thalib. Padahal, Abbasiyah adalah dinasti yang bercorak Suni. Lima tahun memimpin, Idris I terbunuh. Ia digantikan Idris II.
Pada masa kekuasaan Idris II, Dinasti Idrisid melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Damaskus. Dinasti ini meraih kemajuan yang pesat sebagai pusat bejar ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Pusat pemerintahan pun dipindahkan dari Walila ke Fez. Dinasti ini hanya mampu bertahan hingga 364 H/974 M.
Sepeninggal Idris II, penggantinya kebanyakan lemah, kecuali Yahya bin Muhammad dan Yahya IV. Dinasti Idrisid mencapai masa keemasannya di bawah kekuasaan Yahya IV. Setelah Dinasti Idrisid tumbang, bangsa Arab mulai kehilangan pengaruh politiknya di wilayah Maroko.
Kekuasaan pun kemudian diambil alih Dinasti Fatimiah yang beraliran Syiah. Dinasti yang berbasis di Kairo, Mesir itu menguasai Maroko sampai tahun 1171 M. Ketika Dinasti Fatimiah kehilangan kendali atas Maroko, maka muncullah Dinasti Al-Murabitun yang berpusat di Marrakech. Kekuasaannya meliputi Gunung Sahara, Afrika barat laut, dan Spanyol.
Dinasti ini memiliki peran yang begitu besar pada masa kepemimpinan Ibnu Tasyfin. Ia mengirimkan 100 kapal, 7.000 tentara berkuda serta 20 ribu tentara ketika diminta Mu'tad bin Ibad, raja Sevilla untuk melawan tentara Kristen yang ingin melenyapkan Islam dari Eropa.Dalam peperangan itu, tentara Islam menang dengan gemilang. Berkat jasa Ibnu Tasyfin dan pasukannya, Islam bisa berjaya di Spanyol selama empat abad lamanya. Setelah kekuasaan Murabitun jatuh, Maroko menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Al-Muwahhidun (1121 M - 1269 M).
Pada masa kepemimpinan Abu Ya'kub Yusuf bin Abdul Mu'min (1163 M - 1184 M), kota Marrakech menjadi salah satu pusat peradaban Islam dalam bidang sains, sastra, dan menjadi pelindung kaum Muslimin untuk mempertahankan Islam dari serangan dan ambisi Kristen Spanyol. Dinasti ini juga ikut membantu Salahudin Al-Ayubi melawan tentara Kristen dalam Perang Salib.
Pascaruntuhnya kekuasaan Dinasti Al-Muwahhidun, Maroko dikuasai beberapa dinasti seperti; Dinasti Marrin, Dinasti Wattasi (1420 M - 1554 M), Syarifiyah Alawiyah (1666 M), Abdul Qadir Al-Jazairy (1844 M), dan Sultan Hasan I (1873 M - 1894 M). Secara geografis, Maroko berbatasan dengan AlJazair di bagian timur dan tenggara, Sahara Barat di barat daya, Samudera Atlantik di barat, dan Selat Gibraltar di utara. heri ruslan.

C. Keadaan Politik, Ekonomi dan Pendidikan Maroko
1) politik
Munculnya protektorat Perncis atas Maroko adalah berdasarkan perjanjian Fez yang ditandatangani oleh pemerintah Perancis dan Sultan Maroko (Maulay Abdul Hafiz) pada tahun 19212M. Isi perjanjian tersebut adalah tentang pengizinan pemerintah Perancis bertindak atas nama Maroko oleh Sultan, dengan artian apa pun yang dilakukan oleh Perancis adalah perbuatan Sultan. Akibatnya suku-suku berada di bawah kekuasan Perancis dan mereka diintimidasi secara militer, lahan pertanian dicaplok serta diancam akan dibuat kelaparan di samping dipaksa untuk membayar pajak.
Setelah itu pemerintah Perancis membangun pos-pos militer dan mengangkat seorang petugas untuk mengumpulkan pajak serta mengorganisir pasar. Selanjutnya mereka membangun sejumlah jalan , rumah sakit dan sekolah-sekolah. Untuk mewujudkan semua itu para petugas tidak terlibat langsung, tetapi mereka mengerahkan para qa’id yang bertugas untuk mengawasi lalu lintas memberi izin bersenjata, menyelesaikan persengketaan dan menertibkan harga.
Kekuasaan Perancis atas Maroko tidak hanya terbatas terhadap para elit negara tetapi mereka juga menguasai para elit agama (Muslim). Menyikapi kebijakan Perancis ini banyak pemimpin gerakan sufi yang menerima otoritas Perancis dan juga membantu mereka dalam menundukkan wilayah-wilayah kesukuan di samping menjaga perdamaian antara penduduk desa. Akibatnya prestise politik sufi hilang karena fungsi politik mereka menurun dan posisi mereka digantikan oleh para birokrat Pemerintah.
Sementara terhadap orang Barbar, Perancis memandang mereka adalah kelompok non-Arab yang dapatb dipisahkan dari penduduk Maroko secara umum dan bersekutu dengan Perancis. Mereka dijauhkan dari pengaruh Arab dan Islam yang berakibat terbentuknya dua kelompok masyarakat yang menempati wilayah berbeda. Orang-orang Arab tinggal di perkotaan dan orang Barbar tinggal di pegunungan.
Dari usaha yang dilakukan oleh pemerintah Perancis tersebut memisahkan orang Arab dengan orang Barbar, dapat dibayangkan bahwa perpecahan dalam masyarakat akan tumbuh dengan subur, sehingga untuk melawan penjajah yang sedang merajalela di tanah air susah untuk diwujudkan. Hal ini sama dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Belanda selama berkuasa di Indonesia khususnya di Minangkabau. Mereka mendekati kaum adat yang waktu itu sedang sengit bertentangan dengan kaum agama (Islam). Akibatnya dengan mudah Belanda memasukkan firus Baratnya kepada kaum adat dan menusuk Islam. Namun semua itu dapat terelakkan akan kemunculan kesadaran kaum adat terhadap politik Belanda yang sedang memecah belah masyarakat Minangkabau.
Hal penting yang sangat perlu dipetik dari kenyataan sejarah di Maroko dan Indonesia adalah bahwa penjajahan Barat yang seolah-olah menolong masyarakat (Islam) yang sedang dilanda krisis dan keterpurukan ekonomi jangan mudah dipercaya. Apalagi sampai memberikan wewenang/bertindak atas nama bangsa (umat Islam), karena mereka adalah benar-benar bangsa yang cerdas untuk memasukkan misi mereka kepada umat Islam.

2) Ekonomi
Kekuasaan Perancis atas nama Sultan di Maroko telah menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat, karena kebijakan ekonomi Perancis sangat memihak kepada kepentingan Perancis. Apalagi dengan dikuasainya jalan, sungai, pantai serta hutan ecara kuat yang berakibat diperjual belikannya property tersebut. Pada tahun 1914M pertanahan Makhzan harus dijual kepada koloni Eropa dan sejumlah tanah yang diberikan kepada suku-suku sebagai imbalan atas pengabdian militer mereka dirampas. Semakin hari tanah yang dikuasai Eropa meningkat tajam, tercatat pada tahun 1913M terdapat sekitar 73.000 hektar tanah yang dikelola oleh pertanian Eropa dan pada tahun 1953M meningkat menjadi 1.000.000 hektar.
Tanah-tanah yang dikuasai oleh Eropa tersebut dikelola secara terstruktur, sehingga membawa keuntungan yang besar terhadap para petani Eropa. Tanaman mereka seperti jeruk,sayur-mayur dan anggur yang memang susah didapat di Eropa. Sementara para petani Maroko hanya dibolehkan mengolah pertanian yang kurang prospektif dan sedikit keuntungan. Kondisi ini dapat dibayangkan betapa menderitanya masyarakat petani Maroko yang semata-mata pencaharian mereka dari pertanian. Tentu para petani Maroko mengalami krisis dan bisa saja anak-anak mereka tidak sekolah karena ekonomi tidak mendukung. Sekalipun demikian dengan penderitaan yang begitu dalam, secara tidak langsung pihak Perancis telah memberikan sumbangan kepada Maroko dengan menghadirkan kemakmuran ke wilayah pedesaan. Hal ini terwujud melalui pembangunan jalan-jalan dan pembukaan pasar-pasar baru. Mereka juga telah memperkenalkan bibit dan pertanian yang diikuti dengan pola pemeliharaan model baru.
Selanjutnya di bidang industri, Perancis mengutamakan penambangan Posfat dan usaha penggilingan tepung, penyulingan gula, pabrik semen dan peningkatan produksi tekstil. Hal ini membuat para pekerja Maroko membanjir keperkotaan untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang sangat rendah. Semua ini dilakukan tentu tidak terlepas dari kebutuhan untuk hidup apalagi lahan-lahan pertanian mereka banyak yang diambil alih oleh pemerintah Perancis secara paksa.
Dari kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat Maroko atas kebijakan yang diberlakukan oleh pihak Perancis, telah membuat masyarakat Maroko kesulitan. Namun secara tidak langsung Pemerintah Perancis telah menyokong hancurnya struktur tradisional masyarakat Maroko.Kekuasaan kepala suku dan pimpinan agama semakin kecil, rekruitmen masyarakat Maroko ke dalam kesatuan militer Perancis dan sejumlah perusahaan baru di perkotaan telah menjaring banyaknya warga perkampungan berpindah kebeberapa kota. Semua kebijakan itu telah melahirkan kebangkitan identitas politik bangsa Maroko dan perlawanan terhadap Pemerintah Perancis. Sejumlah pekerja Maroko di Perancis telah mengembangkan pola hidup dan kesadaran politik Barat terhadap mereka.

3) Pendidikan
1. Pendidikan masyarakat Maroko masa jajahan Perancis tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan Perancis yang memang betul-betul ingin memisahkan antara masyarakat Arab dengan Barbar sebagai warga asli Maroko. Penguasa Perancis berusaha menciptakan elite Barbar yang terdidik secara Perancis dan membatasi pengaruh Arab serta Islam. Namun usaha mereka tetap gagal untuk memecah belah masyarakat Maroko, karena para pelajar elita Barbar yang hanya sekitar 6% setelah memperoleh ilmu pengetahuan mereka menjadi oposisi/penentang terhadap kekuasaan Perancis. Sementara pendidikan untuk masyarakat Muslim tetap terbuka, karena di Rabat dan Fez didirikan Perguruan Muslim, sejumlah sekolah Dasar, dan sekolah Teknik.


D. Islam Di Maroko
Pada zaman pertengahan Islam yang berkisar sekitar tahun 1250M-1800M, berjaya tiga kerajaan besar Islam (Turki Usmani di Turki, Safawi di Persia dan Mughal di India). Dari tiga kerajaan besar ini, Turki Usmani merupakan sebuah kerajaan yang berjaya sampai kezaman modern (sekitar tahun 1923) karena tepat pada tanggal 23 Oktober 1923 Turki resmi menjadi Republik Turki dan sistem khilafah dihapuskan. Adapun kekuasaan Turki meliputi daerah bagian Timur dan sampai ke Afrika Utara. Namun Maroko sebagai salah satu negara yang berada di wilayah Afrika Utara merupakan sebuah negara yang merdeka dari kekuasaan Turki berbeda dengan Al-Jazair, Mesir, dan negara yang lainnya.
Akan tetapi di tengah kebebasan dari Turki, Maroko menghadapi bangsa yang sedang garang atau bangsa yang baru bangkit dari tidurnya yaitu Portugis dan Spanyol. Memang semenjak renainsance, bangsa Barat selalu melakukan “perbaikan diri” dan bahkan menjajah bangsa lain untuk memperkuat ekonomi mereka dari krisis yang terjadi di Eropa, terutama krisis bahan pangan. Seperti yang terjadi di Maroko dan beberapa negara Islam lainnya. Walaupun demikian ganasnya bangsa Eropa (Portugis dan Spanyol) di Maroko, berkat keuletan dan ketangguhan masyarakat Maroko akhirnya mereka berhasil membebaskan diri dari ancaman bangsa Eropa pada tahun 1578M. Pada waktu itu Maroko diperintah oleh dinasti Syarif dengan dua generasi. Generasi pertama adalah Bani Sa’id (Sa’di) yang berkuasa dari tahun 1554M-1659M dan generasi kedua adalah Bani Alawiyah yang berkuasa semenjak tahun 1660M.
Dalam perjalanan sejarah Maroko, Bani Sa’id telah tercatat sebagai pelopor dalam kebangkitan nasional rakyat Maroko yang dibantu oleh kelompok-kelompok tarekat beraliran Sunni. Waktu itu Maroko menikmati masa perdagangan yang maju pesat berkat posisi kehidupan politik, beragama menjadi lebih mapan dengan pengakuan keluarga Nabi (Syarif) sebagai pemimpin politik keagamaan dan penerimaan mazhab Maliki sebagai cara pengamalan Islam. Namun kekuasaan ini mulai goyah ketika Spanyol menduduki negeri Laras dan perlawanan dari sebagian pemimpin tarekat dan orang-orang Barbar di Fez.
Pemberontakan yang dilakukan oleh sebagian pemimpin tarekat disamping pemberontakan beberapa daerah membawa hancurnya Bani Sa’id dan digantikan oleh Bani Alawiyah tahun 1660M. Kehadiran Bani Alawiyah ini yang dinisbatkan kepada Hasan Ibn Ali (cucu Rasulullah SAW), telah menghalang terjadinya perpecahan pada masyarakat Maroko pada waktu yang sedang dirundung perpecahandan pertikaian politik. Namun dalam menjalankan roda pemerintahan mereka tetap berhati-hati terhadap kelompok tarekat yang mereka wujudkan dengan pengepungan kelompok tarekat di Fez. Angkatan bersenjata dibentuk dan termasuk di dalamnya pasukan budak hitam pada masa pemerintahan Sultan Maulai Ismail sekitar tahun 1700M.
Dengan adanya angkatan bersenjata tersebut, pada abad ke-18M bani ini berhasil mengusir orang Portugis dari Maroko. Kemudian diadakanlah perjanjian perdagangan dengan negara-negara Eropa Utara yang berakibat pada abad ke-19M tidak ada lagi kekuatan asing yang berani mengusik Maroko. Namun perubahan regional dan global di awal abad ke-19M telah banyak merugikan Maroko. Hal ini karena semakin kuatnya kepentingan politik serta ekonomi Barat terutama Ingris dan Perancis di Laut Tengah yang membuat Maroko terdesak. Di tambah dengan dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869M, sehingga orang-orang Eropa semakin terbuka matanya untuk menjelajahi dunia Timur yang kaya dengan rempah-rempah. Apalagi dengan penggunaan kapal api dan kereta api.Semua ini membantu orang Eropa untuk pengiriman barang-barang dari Amerika, Asia Tenggara dan Rusia ke Eropa yang mampu menyaingi barang ekspor Maroko.
Dengan melemahnya perekonomian Maroko dan negara terancam oleh kekuatan asing yang semakin hari membuat Maroko terpuruk, maka lahirlah Protektorat Perancis atas Maroko pada tahun 1912M. Semenjak itu Maroko berada di bawah rongrongan bangsa Eropa dan diperlakukan sesuka hati orang Eropa.
Maroko baik sebelum dan sesudah kemerdekaan sampai masa kontemporer tetap menjadi sebuah Negara kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja. Sejarah Islam di Marokotidak terlepas dari gerakan-gerakan sufi yang melakukan penentangan terhadap kebijakan pemerintah. Gerakan penentang ini mencuat ketika pemerintah menjalin kerjasama dengan pihak Eropa yang dianggap oleh sebagian besar umat Islam sebagai pembawa paham sekuler ke dunia Islam.
Di lain pihak di tengah keributan yang muncul dan perlawanan terhadap raja yang sah gerakan-gerakan fundamentalis tidak pernah berhasil menggulingkan kekuasaan raja karena kefanatikan masyarakat Maroko akan kesucian raja. Umat Islam Maroko adalah penganut mazhab Maliki yang kental yang juga sering bergabung dengan tarekat-tarekat sufi baik sebelum maupun pasca kemerdekaan. Namun di tengah kefanatikan masyarakat Maroko, ternyata kekuasaan Perancis yang hanya berjalan selama 44 tahun telah meninggalkan pengaruh yang besar di Maroko, sehingga hokum civil di Maroko didasarkan pada kitab hukum Perancis.























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi Maroko baik sebelum dan sesudah kemerdekaan sampai masa kontemporer tetap menjadi sebuah Negara kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja. Sejarah Islam di Marokotidak terlepas dari gerakan-gerakan sufi yang melakukan penentangan terhadap kebijakan pemerintah. Gerakan penentang ini mencuat ketika pemerintah menjalin kerjasama dengan pihak Eropa yang dianggap oleh sebagian besar umat Islam sebagai pembawa paham sekuler ke dunia Islam.

Di lain pihak di tengah keributan yang muncul dan perlawanan terhadap raja yang sah gerakan-gerakan fundamentalis tidak pernah berhasil menggulingkan kekuasaan raja karena kefanatikan masyarakat Maroko akan kesucian raja. Umat Islam Maroko adalah penganut mazhab Maliki yang kental yang juga sering bergabung dengan tarekat-tarekat sufi baik sebelum maupun pasca kemerdekaan. Namun di tengah kefanatikan masyarakat Maroko, ternyata kekuasaan Perancis yang hanya berjalan selama 44 tahun telah meninggalkan pengaruh yang besar di Maroko, sehingga hokum civil di Maroko didasarkan pada kitab hukum Perancis